G A R D A W I L W A T I K T A

Blog ini bertujuan sebagai wadah/sarana ilmu pengetahuan, sejarah, mitos, dan juga pencarian jejak-jejak peradaban peninggalan Kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Silahkan bagi yang ingin mengikuti komunitas ini kita bisa belajar bersama-sama, karena kami juga sangat minim pengetahuan, dan diharapkan kita bisa sharing berbagai informasi tentang sejarah yang ada di Nusantara ini...

Laman

5 Juni 2017

Asal Mula Mojopahit


   Di alun-alun Kotaraja Kahuripan yang luas telah berkumpul rakyat dari penjuru negeri, mereka tampak bersedih hati menunggu kehadiran Sang Maharaja Herlingga yang hendak menyampaikan sabda terakhirnya sebagai penguasa Medang Kahuripan.

   Selepas penolakan putri mahkota Dewi Sanggamawijaya Tunggadewi untuk meneruskan tahta Kahuripan terjadi pertentangan antara adik-adik tirinya untuk memperebutkan tahta Kahuripan yang tentu saja membuat duka di hati sang Maharaja Herlingga sehingga atas bantuan dan petunjuk Resi Baradah beliau membagi dua kerajaannya menjadi Jenggalamanik dan Panjalu agar kedua putranya tidak saling membunuh memperebutkan tahta.

   Akhirnya tibalah sang Maharaja Herlingga di paseban Agung di tengah alun-alun Kahuripan diiringi Patih Narotama.
      Ratusan ribu rakyat mengelu-elukannya seolah-olah tidak mau berpisah dengan Rajanya itu, bahkan banyak diantara mereka yang menangis.
Sang Maharaja dengan raut muka sedih bersabda "Rakyatku semua... Dengarlah sabdaku yang terakhir ini... Dengan sedih dan duka yang tiada terkira... Aku Herlingga telah membagi dua kerajaan ini. Dengan perih yang menghunjam dada, aku telah menceraikan keutuhan kerajaan kita ini..."


   Kata-kata Sang Maharaja terhenti seolah tidak mampu lagi meneruskan kalimatnya, wajahnya tampak memerah menahan amarah yang menggelegar. Namun perlahan-lahan Beliau mengambil nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan perlahan-lahan. Pelan namun pasti wajahnya kembali tenang dan kembali bersabda pada rakyatnya yang menyemut dihadapannya.

   "Wahai rakyatku... Kahuripan yang dengan susah payah kita dirikan, kita bebaskan dari kungkungan kuasa Sriwijaya, kita persatukan kembali dengan darah dan air mata selama bertahun tahun kini telah lenyap!! Sirna!!! Demi menurut nafsu serakah kedua putraku! Rakyatku maafkan diriku ini... Maafkanlah kebodohan kedua putraku..." kembali Sang Herlingga tidak bisa meneruskan kalimatnya, kedua matanya berkaca-kaca, rakyatnya semakin dinaungi kedukaan yang tiada terhingga.

   Begitulah singkat cerita Maharaja Herlingga menyampaikan keinginannya untuk mengundurkan diri dari tahta dan membagi dua kerajaannya masing-masing menjadi Jenggalamanik dan Panjalu, selanjutnya Beliau memutuskan untuk menjadi Resi.

   Maharaja Herlingga meninggalkan kotaraja menuju gunung Pawitra diiringi sejumlah prajurit dan patih Narotama. Telah lama Sang Maharaja mengalami sakit perut yang tiada obatnya, tabib-tabib kerajaanpun tak bisa mengobatinya.

   Sementara itu, di pertapan Gluto kabar tentang mundurnya Sang Maharja telah terdengar oleh sepasang suami istri, sehingga sang resi lelaki tua berkata pada istrinya kalau dia akan bertapa meminta pada Dewa untuk obat sakit perut Sang Maharaja yang kini dalam perjalanan menjadi seorang Resi. Setelah melakukan ritual puja bhakti di tepi sungai Gangga (Brantas) akhirnya mendapat petunjuk untuk mencari sebuah pohon yang buahnya rasanya pahit.

   Setelah mencari buah yang dimaksudkan mereka berdua (suami-istri resi itu) memutuskan untuk menemui Sang Herlingga yang hendak ke selatan menuju gunung keramat, Gunung Pawitra. Dalam perjalanan itu sang istri mengalami sakit perut, akhirnya sang suami memberinya satu buah yang pahit itu kepada istrinya, "Makanlah buah ini Adinda… rasanya memang pahit tetapi sakitmu akan berkurang dan beristirahatlah!!!". Setelah beristirahat dan memakan buah itu sang istri yang rambutnya juga memutih seperti rambut suaminya itu sembuh, mereka pun meneruskan perjalanannya di hutan itu.

   Setelah menyeberangi sungai Brantas mereka kembali memasuki hutan yang lebat dan angker, yang  kelak disebut hutan Trik atau dalam Serat Pararaton disebut Alase Wong Trik , di sana mereka bertemu dengan rombongan Maharaja Herlingga hingga terjadilah sebuah dialog diantara mereka .


"Sembah kami kepada Maharaja yang Agung Herlingga Pelindung Jawa Dwipa..."

"Terimakasih resi berdua… kini diriku sama seperti andika berdua… hanya resi, bukan lagi  Maharaja…"

"Terimalah buah yang rasanya pahit ini paduka..!! sebagai bekal perjalanan paduka menuju gunung Pawitra ."

"Resi berdua, bagaimana andika tahu kalau aku sedang sakit perut? Terimakasih resi berdua, atas persembahan ini... Kini dengarkanlah titahku!!!
…Tanamlah pohon dari buah ini di hutan belantara ini... kelak akan andika dapati bahwa buah ini akan terasa manis... Dan kini Aku beri nama Andika dengan nama Resi Mangunkerto..."

Terimakasih yang tiada terhingga kami haturkan atas semua ini paduka..." begitu kata Resi suami yang telah dikukuhkan namanya sebagai Resi Mangunkerto itu. Dalam hatinya beliau heran bagaimana mungkin buah yang pahit ini akan terasa manis?


   Ratusan tahun telah berlalu, era Kahuripan berganti dengan era baru... Serombongan prajurit dari Madura  membabat alas di hutan itu. Hingga suatu saat perbekalan mereka habis, akhirnya mereka memutuskan untuk mencari makanan di hutan itu.


   Hingga mereka melihat banyak pohon yang buahnya segar dan besar di dekat sungai. Merekapun memutuskan untuk mengambilnya, akan tetapi mereka diserang seekor buaya putih yang sepertinya menjaga pohon-pohon itu. Pertempuranpun tidak terelakkan antara para prajurit melawan buaya putih itu. Karena ribut dan gaduhnya perkelahian itu membuat seorang pertapa tua yang bertapa di goa dekat sana terbangun dan berusaha menghentikan perkelahian itu.

"Cukuuup!!!! Cuukuup!!! Hentikaaan pertarungan ini!!!  Kenapa kalian berkelahi ?"


   Akhirnya pertapa itu -yang ternyata adalah Resi Mangunkerto- meminta mereka para prajurit itu untuk bertemu dengan pemimpin mereka sambil membawa lima buah maja yang rasanya pahit itu
 "Ambillah buah ini, ini buat obat bukan untuk dimakan, antarkan aku ke junjungan kalian…"
       

   Lalu bertemulah Resi Mangunkerto dengan pemimpin prajurit itu yaitu Dyah Sanggramawijaya menantu mendiang Prabu  Kartanagara Raja Singhasari yang terakhir. 
    Dan kemudian dimakanlah buah itu oleh Dyah Sanggramawijaya , ternyata rasanya pahit, sambil berpikir sesuatu "Pahit..!! pahit?!.. mojo?.. pahit?, ya… aku akan namakan tempat ini MOJO PAHIT…!!!".


   Mendengarkan kata Dyah Sanggramawijaya itu sang Resi Mangunkerto tersadar atas titah Maharaja Herlingga... "Rupanya ini yang dimaksudkan Maharaja Herlingga ratusan tahun yang lalu...
   Demikianlah sejak saat itu tempat itu dinamakan desa Mojopahit , perlahan namun pasti tempat itu berkembang menjadi sebuah tempat yang ramai kelak disinilah Dyah Sanggramawijaya menobatkan dirinya menjadi Maharaja Mojopahit dengan gelar Maharaja Kertarajasa Jayawardhana pada bulan November 1293 Masehi .



 Agus Subandriyo , Penulis 
Share:
Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya - GARDA WILWATIKTA Tado Singkalan - "Menapak Jejak, Mematri Semangat, Mengunggah dan Melestarikan Peradaban Nusantara"

Garda Wilwatikta