Budha 12 Oktober
2016, Team Garda Wilwatikta Tado Singkalan berangkat dari basecamp sekitar jam
07.45 WIB.
Penulis, mas Eko Finda Jayanto, dan mas Abdul Aziz Samsudin membawa
dua motor dengan perlengkapan seperti biasanya meluncur menuju Tlatah Lamong.
Tujuan utama kami
adalah bertemu dengan mas Sofyan Sunaryo seorang arkeolog numismstik yang
sedang mudik di desa leluhurnya yaitu Desa Lukrejo, dan juga bertemu teman-teman
komunitas pecinta sejarah dan budaya Satyah
Tlatah Lamong. Setelah 1,5 jam menempuh perjalanan akhirnya sampailah kami
bertiga di Desa Lukrejo (Ngeluk) yang dulu namanya adalah Desa Lukman Hakim.
Sesuai SMS mas
Sofyan kami diminta menunggu di rumah mas Didi putra bapak Khartam mantan kades
Lukrejo. Kami segera menuju rumah bapak Khartam, disana kami ditemui oleh mas
Didi (sesepuh Satyah Tlatah Lamong)
dengan ramah.
![]() |
mas Didi dan Penulis (Agus S) |
Sambil menunggu
kedatangan mas Sofyan Sunaryo dan bapak Viddy Daery kami berbincang-bincang
ringan tentang temuan artefak yang sempat kita bicarakan pada kunjungan pertama
kami beberapa waktu yang lalu.
baca juga Kunjungan sebelumnya
![]() |
Eko F Jayanto |
Mas Eko tampak
serius membaca buku Jatidiri Gajah Mada
karya mas Sofyan, demikian pula mas Aziz juga sibuk mendokumentasikannya. Pada kesempatan ini
kami juga membawa buku kami untuk mas Didi. Sekitar jam 11.00 WIB mas Sofyan
dan pak Viddy tiba dari kunjungan ke Sedayulawas dalam rangka riset arkeologi
maritim.
Akhirnya
perbincanganpun semakin menarik dengan hadirnya mas Sofyan dan Pak Viddy yang
masing-masing punya cerita yang menarik terutama tentang riset yang sedang
mereka lakukan yaitu riset arkeologi maritim dipantura.
Dalam buku Jatidiri Gajah Mada dan Peranan Umat Islam
Majapahit disebutkan kalau daerah Kahuripan Pamotan (Lamongan, Gresik, dan Tuban)
adalah penyangga utama Majapahit, karena di daerah ini banyak swatantra-swantantra
yang menghasilkan produk-produk utama seperti batu bata, lontar, kayu, dan
lain-lain. Disamping itu juga banyaknya pelabuhan-pelabuhan besar di sini,
seperti Sedayulawas, Kambang Putih, dan pelabuhan-pelabuhan yang tercatat
dalam naditira pradesa.
Sebelumnya di masa
Kahuripan daerah-daerah yang disebut diatas sudah ramai menjadi jalur
perdagangan mancanegara.
![]() |
gbr ilustrasi jalur perdagangan |
Banyaknya sungai-sungai
besar di kawasan ini membuat lalu lintas utama perdagangan melalui kapal-kapal
yang bisa menuju berbagai tempat di pedalaman. Tentu saja dalam masa Majapahit dikenal
memiliki kapal-kapal yang besar untuk berdagang maupun kapal perangnya, namun
sulit sekali ditemukan jejak-jejak arkeologisnya.
Dalam catatan
Portugis maupun China disebutkan betapa besarnya kapal-kapal Jawa pada masa itu
yang tidak dapat ditandingi oleh kapal dari negara manapun.
![]() |
gbr ilustrasi kapal Majapahit |
Menurut catatan
Portugis, kapal Jung Jawa bobotnya bisa mencapai 600-1000 ton, sangat besar untuk
ukuran kapal kayu tentunya. Bahkan menurut sebuah keterangan yang ada panjang
kapal Majapahit mencapai 220 meter, jauh melebihi kapal perang Ming yang
dipimpin Cheng Ho yang panjangnya hanya 155 meter. Sungguh maju dan hebat
teknologi maritim Majapahit di masa itu.
Yang menjadi
pertanyaan kita semua kemana hilangnya kapal-kapal besar itu? Bahkan dalam
literatur kita saja sedikit sekali yang membahas tentang kapal-kapal tersebut,
entah karena minimnya data atau karena belum ditemukannya jejak arkeologisnya, secara
praktis hanya kapal Punjulharjo lah yang bisa kita lihat temuannya.
![]() |
Situs Kapal Punjulharjo |
Kembali ke
pembahasan tentang riset arkeologi maritim disekitar Tuban, Lamongan, dan Gresik
disini banyak tempat yang mengindikasikan jejak Gajah Mada dan Mpu Prapanca
seperti Dalegan, Modo, Ngimbang, Pringgoboyo, maupun Lukrejo tentunya. Juga tentang
cerita tenggelamnya kapal Van Der Wijck di perairan Drajad yang konon tenggelam
karena merampas lontar-lontar kuno peninggalan keluarga Drajad sebanyak tiga
cikar itu. Menurut keterangan yang disampaikan pak Viddy yang berasal dari
cerita turun-temurun keluarga Drajad bahwa pihak Belanda mengabaikan pesan
warga Drajad agar jangan membawa lontar-lontar yang tulisannya berwarna merah
karena isinya adalah kutukan. Mas Sofyan menjelaskan kenapa warna tulisan itu
warnanya merah, tulisan berwarna merah karena penulisnya memakai darahnya
sendiri untuk menulisnya.
Sungguh
perbincangan ini amat menarik bagi kami dari Garda Wilwatikta yang sangat cinta
dengan sejarah kita. Setelah melaksanakan sholat dan makan siang kami berangkat
mengikuti perjalanan Mas Sofyan, pak Viddy, dan mas Sandi menuju ke Gresik. Karena
waktu yang terbatas kami tidak bisa ikut kegiatan riset arkeologi maritim ini.
Namun kami berharap
agar riset ini lancar sehingga menemukan jejak-jejak arkeologi yang bisa
membuktikan kehebatan teknologi maritim nusantara dimasa lalu. Sehingga dari
hebatnya Teknologi Maritim Nusantara itu memicu keinginan kita semua untuk
menemukan dan mengembangkannya demi kehidupan berbangsa dan bernegara dimasa
kini dan masa depan.
0 komentar:
Posting Komentar