5 Juni 2017
Asal Mula Mojopahit
Di alun-alun Kotaraja Kahuripan yang luas telah berkumpul
rakyat dari penjuru negeri, mereka tampak bersedih hati menunggu kehadiran Sang
Maharaja Herlingga yang hendak menyampaikan sabda terakhirnya sebagai penguasa
Medang Kahuripan.
Selepas penolakan putri mahkota Dewi Sanggamawijaya Tunggadewi untuk
meneruskan tahta Kahuripan terjadi pertentangan antara adik-adik tirinya untuk
memperebutkan tahta Kahuripan yang tentu saja membuat duka di hati sang
Maharaja Herlingga sehingga atas bantuan dan petunjuk Resi Baradah beliau
membagi dua kerajaannya menjadi Jenggalamanik dan Panjalu agar kedua putranya
tidak saling membunuh memperebutkan tahta.
Akhirnya tibalah sang Maharaja Herlingga di paseban Agung di
tengah alun-alun Kahuripan diiringi Patih Narotama.
Ratusan ribu rakyat
mengelu-elukannya seolah-olah tidak mau berpisah dengan Rajanya itu, bahkan
banyak diantara mereka yang menangis.
Sang Maharaja dengan raut muka sedih bersabda "Rakyatku semua... Dengarlah sabdaku yang
terakhir ini... Dengan sedih dan duka yang tiada terkira... Aku Herlingga telah
membagi dua kerajaan ini. Dengan perih yang menghunjam dada, aku telah
menceraikan keutuhan kerajaan kita ini..."
Kata-kata Sang Maharaja terhenti seolah tidak mampu lagi
meneruskan kalimatnya, wajahnya tampak memerah menahan amarah yang menggelegar.
Namun perlahan-lahan Beliau mengambil nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya
dengan perlahan-lahan. Pelan namun pasti wajahnya kembali tenang dan kembali
bersabda pada rakyatnya yang menyemut dihadapannya.
"Wahai rakyatku...
Kahuripan yang dengan susah payah kita dirikan, kita bebaskan dari kungkungan
kuasa Sriwijaya, kita persatukan kembali dengan darah dan air mata selama
bertahun tahun kini telah lenyap!! Sirna!!! Demi menurut nafsu serakah kedua
putraku! Rakyatku maafkan diriku ini... Maafkanlah kebodohan kedua putraku..."
kembali Sang Herlingga tidak bisa meneruskan kalimatnya, kedua matanya berkaca-kaca,
rakyatnya semakin dinaungi kedukaan yang tiada terhingga.
Begitulah singkat cerita Maharaja Herlingga menyampaikan
keinginannya untuk mengundurkan diri dari tahta dan membagi dua kerajaannya
masing-masing menjadi Jenggalamanik dan Panjalu, selanjutnya Beliau memutuskan
untuk menjadi Resi.
Maharaja Herlingga meninggalkan kotaraja menuju gunung
Pawitra diiringi sejumlah prajurit dan patih Narotama. Telah lama Sang Maharaja
mengalami sakit perut yang tiada obatnya, tabib-tabib kerajaanpun tak bisa
mengobatinya.
Sementara itu, di pertapan Gluto kabar tentang mundurnya
Sang Maharja telah terdengar oleh sepasang suami istri, sehingga sang resi
lelaki tua berkata pada istrinya kalau dia akan bertapa meminta pada Dewa untuk
obat sakit perut Sang Maharaja yang kini dalam perjalanan menjadi seorang Resi.
Setelah melakukan ritual puja bhakti di tepi sungai Gangga (Brantas) akhirnya mendapat
petunjuk untuk mencari sebuah pohon yang buahnya rasanya pahit.
Setelah mencari buah yang dimaksudkan mereka berdua (suami-istri
resi itu) memutuskan untuk menemui Sang Herlingga yang hendak ke selatan menuju
gunung keramat, Gunung Pawitra. Dalam perjalanan itu sang istri mengalami sakit
perut, akhirnya sang suami memberinya satu buah yang pahit itu kepada istrinya,
"Makanlah buah ini Adinda… rasanya memang
pahit tetapi sakitmu akan berkurang dan beristirahatlah!!!". Setelah beristirahat dan memakan buah itu sang istri yang
rambutnya juga memutih seperti rambut suaminya itu sembuh, mereka pun meneruskan
perjalanannya di hutan itu.
Setelah menyeberangi sungai Brantas mereka kembali memasuki
hutan yang lebat dan angker, yang kelak disebut hutan Trik atau dalam Serat Pararaton disebut Alase Wong Trik , di sana mereka bertemu dengan rombongan Maharaja
Herlingga hingga terjadilah sebuah dialog diantara mereka .
"Sembah kami
kepada Maharaja yang Agung Herlingga Pelindung Jawa Dwipa..."
"Terimakasih resi
berdua… kini diriku sama seperti andika berdua… hanya resi, bukan lagi Maharaja…"
"Terimalah buah
yang rasanya pahit ini paduka..!! sebagai bekal perjalanan paduka menuju gunung
Pawitra ."
"Resi berdua,
bagaimana andika tahu kalau aku sedang sakit perut? Terimakasih resi berdua,
atas persembahan ini... Kini dengarkanlah titahku!!!
…Tanamlah pohon dari
buah ini di hutan belantara ini... kelak akan andika dapati bahwa buah ini akan
terasa manis... Dan kini Aku beri nama Andika dengan nama Resi Mangunkerto..."
“Terimakasih yang
tiada terhingga kami haturkan atas semua ini paduka..." begitu kata
Resi suami yang telah dikukuhkan namanya sebagai Resi Mangunkerto itu. Dalam
hatinya beliau heran bagaimana mungkin buah yang pahit ini akan terasa manis?
Ratusan tahun telah berlalu, era Kahuripan berganti dengan
era baru... Serombongan prajurit dari Madura membabat
alas di hutan itu. Hingga suatu saat perbekalan mereka habis, akhirnya mereka
memutuskan untuk mencari makanan di hutan itu.
Hingga mereka melihat banyak pohon yang buahnya segar dan
besar di dekat sungai. Merekapun memutuskan untuk mengambilnya, akan tetapi
mereka diserang seekor buaya putih yang sepertinya menjaga pohon-pohon itu. Pertempuranpun
tidak terelakkan antara para prajurit melawan buaya putih itu. Karena ribut dan
gaduhnya perkelahian itu membuat seorang pertapa tua yang bertapa di goa dekat
sana terbangun dan berusaha menghentikan perkelahian itu.
"Cukuuup!!!!
Cuukuup!!! Hentikaaan pertarungan ini!!! Kenapa kalian berkelahi ?"
Akhirnya pertapa itu -yang ternyata adalah Resi Mangunkerto-
meminta mereka para prajurit itu untuk bertemu dengan pemimpin mereka sambil
membawa lima buah maja yang rasanya pahit itu
"Ambillah buah ini, ini buat obat bukan untuk dimakan, antarkan aku ke
junjungan kalian…"
Lalu bertemulah Resi Mangunkerto dengan pemimpin prajurit
itu yaitu Dyah Sanggramawijaya menantu mendiang Prabu Kartanagara Raja Singhasari yang terakhir.
Dan kemudian dimakanlah buah itu oleh Dyah Sanggramawijaya , ternyata rasanya pahit, sambil berpikir sesuatu "Pahit..!! pahit?!.. mojo?.. pahit?, ya… aku akan namakan tempat ini MOJO PAHIT…!!!".
Mendengarkan kata Dyah Sanggramawijaya itu sang Resi
Mangunkerto tersadar atas titah Maharaja Herlingga... "Rupanya ini yang dimaksudkan Maharaja
Herlingga ratusan tahun yang lalu..."
Demikianlah sejak saat itu tempat itu dinamakan desa Mojopahit , perlahan namun pasti tempat itu berkembang menjadi sebuah tempat yang ramai kelak disinilah Dyah Sanggramawijaya menobatkan dirinya menjadi Maharaja Mojopahit dengan gelar Maharaja Kertarajasa Jayawardhana pada bulan November 1293 Masehi .
Agus Subandriyo , Penulis