G A R D A W I L W A T I K T A

Blog ini bertujuan sebagai wadah/sarana ilmu pengetahuan, sejarah, mitos, dan juga pencarian jejak-jejak peradaban peninggalan Kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Silahkan bagi yang ingin mengikuti komunitas ini kita bisa belajar bersama-sama, karena kami juga sangat minim pengetahuan, dan diharapkan kita bisa sharing berbagai informasi tentang sejarah yang ada di Nusantara ini...

Laman

Tampilkan postingan dengan label Mojokerto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mojokerto. Tampilkan semua postingan

1 Juni 2018

TEMUAN SUMUR JOBONG (4 sap) Tegalsari Puri Mojokerto


     Berawal dari penggalian sumur untuk resapan air di halaman rumahnya Pak Wahyudin, seorang warga Dusun Tegalsari Kecamatan Puri Mojokerto di kedalaman 2,5 meter secara tidak sengaja menemukan benda peninggalan arkeologi yang berupa Terakota Sumur Jobong pada hari Kamis 31 Mei 2018 sekitar pukul 13.00 WIB.

Share:

25 September 2017

Sambung Rasa Antara 6 Komunitas Dengan BPCB Jawa Timur


Senin 18 September 2017 pukul 10.00 WIB, adalah waktu yang telah disediakan oleh Bapak Kepala Kasi PP kepada 6 Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya dari Kabupaten Sidoarjo untuk mengadakan pertemuan atau istilah lainnya adalah Sambung Rasa
antara 6 Komunitas tersebut dengan Istansi Pemerintah dalam ini adalah Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur tentang berbagai hal seputar temuan-temuan Situs Purbakala dan permasalahannya dalam pelestariannya, terutama yang berada dalam wilayah Kabupaten Sidoarjo.
            Sebelumnya 6 Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya telah hampir 3 bulan bersama-sama menyatukan persepsi, visi dan misi mereka dalam menyikapi berbagai hal tentang kurang terpeliharanya temuan-temuan situs yang ada di Kabupaten Sidoarjo baik itu kurang respeknya pemerintah daerah setempat maupun masyarakat umumnya. Setelah menjalani serangkai kegiatan penelusuran Jejak-jejak Peradaban dan serangkaian diskusi panjang akhirnya dicapai sebuah kesepakatan bersama untuk mengirim surat ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur untuk meminta waktu untuk sekedar beraudensi pada tanggal 28 Agustus 2017 yang lalu. Setelah sebelumnya juga bertemu dengan beberapa orang arkeolog dari Puslit Arkenas Jakarta yang sedang melakukan riset di situs Grogol, Beliau adalah Ibu Watty Yusman, Bapak Edy, Ibu Titi dan Ibu Tri Wahyuni.



            6 Komunitas yang terdiri dari Balasatya Wetan, Lakon Jagad, Garda Wilwatikta, Satriyo Puser Mojopahit,Paguyuban Sendang Agung dan Pimcab Sidoarjo Perhimpunan Pergerakan Indonesia akhirnya diterima oleh Bapak Kepala Kasi PP Drs. Edhi Widodo M. Si. Beserta staffnya yaitu Bapak Nugroho Harjo Lukito SS., Bapak Sudaryanto, Bapak Kuswanto SS. M.Hum. Dan Bapak Muhammad Ichwan SS. MA. di ruangan presentasi sekitar pukul 10.15 WIB.



            Kamipun masuk ruangan yang disediakan, dan acarapun dibuka oleh Bapak Kepala Kasi PP Drs. Edhi Widodo dengan menyampaikan ucapan selamat datang kepada semua perwakilan 6 Komunitas yang hadir sambil menanyakan maksud dan tujuan kedatangan 6 Komunitas dari Sidoarjo ini. Bapak Tri Kisnowo Hadi sebagai juru bicara 6 komunitas Sidoarjo ini segera memulai prolognya tentang latar belakang tujuan 6 Komunitas bertemu dengan Kepala Kasi PP dan staff yang intinya adanya sebuah keprihatinan yang mendalam dari elemen masyarakat pecinta sejarah Sidoarjo tentang pelestarian Situs-situs di Sidoarjo yang sepertinya tidak direspon secara baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat sehingga terjadi pembiaran terhadap situs-situs yang relatif baru ditemukan seperti Situs Alas Trik ,Situs Terung, Situs Pelawangan, Situs Urangagung dan juga hendak melaporkan Temuan situs di tepi Sungai Porong Desa Leminggir Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto.



            Selain Bapak Tri Kisnowo Hadi dari Pimcab Perhimpunan Pergerakan Indonesia, Bapak Khudori Al Wakid dari Satriyo Puser Mojopahit juga menambahkan tentang keprihatinan masyarakat Tarik khususnya, karena ada semacam pertanyaan dari masyarakat tentang bagaimana sebenarnya Sejarah Tarik tersebut. Sebab dalam sebuah literatur sejarah yaitu Pararaton menyebutkan kalau di daerah yang disebut ALASE WONG TRIK adalah tempat berdirinya Mojopahit terlebih dahulu. Sekitar tahun 1986-1995 pernah ada beberapa kali penelitian di kawasan Medowo dan Klinter yang merupakan wilayah dari Tarik yang hingga kini belum ada kajian resmi tentang penelitian tersebut. Bapak Drs. Edhi Widodo segera merespon dengan menyebutkan bahwa sesuai UU Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya kewenangan yang dipunyai BPCB, serta kewenangan-kewenangan yang sebenarnya kini berada pada istansi pemerintah yang ada pada pemerintah Kabupaten maupun kota secara jelas. Dan juga Pak Edhi Widodo menyebutkan berbagai macam kesulitan yang dialami BPCB terkait dengan minimnya anggaran tentang hal itu. Jadi dalam menjalani fungsinya menanggapi laporan masyarakat tentang adanya temuan situs pihaknya memakai skala prioritas, artinya tindakan terdapat temuan situs-situs tersebut terlebih dahulu akan disurvei oleh BPCB apakah situs tersebut masuk dalam prioritas utama atau dibawahnya.



            Selanjutnya Pak Edhi Widodo mempersilahkan adanya pelaporan situs di tepi Sungai Porong yang disampaikan oleh Bapak Agus Subandriyo dari Komunitas Garda Wilwatikta. Dalam kesempatan ini Bapak Agus Subandriyo menjelaskan secara ringkas adanya temuan situs yang berupa 6 sumur kuno yang terbuat dari bata kuno yang bentuknya bundar. Struktur pondasi yang masih tertanam di tebing utara sungai porong dengan panjang struktur lebih dari 15 meter. Diduga struktur bata itu masih terpendam utuh di bawah tanah yang kini ditanami jagung dan singkong. Kemudian reruntuhan bata yang berserakan di sepanjang tepi sungai lebih dari 15 meter, pecahan tembikar, gerabah, keramik, batu pipisan, serpihan tulang dan koin kuno yang diduga koin Cina.



            Selain itu Bapak Agus Subandriyo juga meminta adanya respon dari BPCB Jawa Timur atas temuan tersebut karena rawan sekali terjadi kerusakan pada situs tersebut termasuk meminta dokumen tentang hasil Riset Balai Arkeologi Jogjakarta antara tahun 1986–1995. Selanjutnya Bapak Agus Mulyono dari Komunitas Lakon Jagad juga menceritakan tentang proses penemuan Situs Terung dari awal hingga kini termasuk adanya upaya eskavasi dari BPCB tahun 2015 yang dipimpin Bapak Nugroho Harjo Lukito sekaligus menanyakan hasil dari eskavasi tersebut.



Menanggapi hal tersebut Bapak Edhi Widodo kembali memperjelas kemampuan dan kewenangan yang dimiliki BPCB yang tentunya selain anggarannya terbatas juga tidak bisa berbuat tanpa ada kejelasan dari tanah yang ada situsnya tersebut. Karena BPCB tidak diizinkan melakukan tindakan lebih, misalnya pemugaran sebuah situs sebelum status tanahnya itu resmi menjadi tanah milik negara.


Bapak Tri Kisnowo Hadi juga menanyakan tentang kenapa 6 Komunitas ini melaporkan langsung temuan situs kepada BPCB karena bila melaporkan temuan situs ke pihak Dispora yang ada di Pemerintah Kabupaten maka pihak Dispora berdalih kalau hal itu menjadi wewenang BPCB, jadi ada semacam pelemparan tanggungjawab antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan BPCB padahal dalam UU nomor 11 tahun 2010 telah jelas disebutkan tugas dan wewenangnya pada Bab VIII pasal 95 dan 96, dengan adanya kejadian semacam itu Bapak Edhi Widodo menganjurkan untuk mendorong pada instansi terkait di pemerintah Kabupaten/Kota untuk menjalankan fungsi dan wewenangnya sesuai UU nomor 11 tentang Cagar Budaya khususnya pasal 95 dan 96. Tentunya bisa melalui pendekatan politik melalui komisi-komisi DPRD yang mengurusinya.



Selanjutnya Bapak Nugroho Harjo Lukito yang menanggapi pertanyaan dari Bapak Agus Mulyono tentang hasil Eskavasi BPCB di Terung tahun 2015. Secara lugas Pak Nugroho ini menyebutkan tentu saja 3 hari eskavasi di situs Terung belum bisa menjawab tentang apa itu Terung apalagi periodesasi, karena memang waktunya tidak cukup untuk itu, lagi-lagi kendalanya dari anggaran yang terbatas. Tetapi Pak Nugroho memberikan jalan keluar untuk mempercepat langkah-langkah penanganannya melalui kerjasama dengan pemerintah daerah setempat. Tentunya ada mekanisme yang tersendiri terutama tentang anggaran kegiatan tersebut. Secara tersirat Pak Nugroho menyatakan kalau temuan situs Terung yang kedalamannya di atas 2 meter, dengan ada 3 lapisan tanah yang berbeda bisa saja situs tersebut lebih Tua dari Mojopahit, bisa zaman Kediri atau lebih lama lagi.



            Selanjutnya Bapak Sudaryanto menanggapi penyataan Bapak Khudori tentang pemanfaatan situs dengan kegiatan yang bermuatan budaya lokal seperti yang ada di daerah Puri, sebuah tempat situs yang hingga kini tetap dimanfaatkan dengan kegiatan-kegiatan budaya. Kemudian belum meratanya staff ahli yang seharusnya ada di setiap Kabupten dan kota juga menyulitkan kegiatan pelestarian, untuk itulah Bapak  Kusawanto meminta kepada 6 komunitas ini untuk mendorong pihak pemerintah Kabupaten kota untuk menunjukkan staff ahlinya agar lebih memudahkan penanganan pelestarian di daerah-daerah, karena di berapa daerah seperti Malang dan Kediri telah mempunyai Staff Ahli yang mengurusi keberadaan situs-situs di wilayahnya, sehingga kalau ada penemuan situs baru proses penanganannya akan lebih cepat. Juga tentang peran pentingnya komunitas-komunitas pecinta sejarah dan budaya tentu akan membantu proses penanganan situs-situs, baik itu yang sudah ada maupun yang baru ditemukan. Pak Sudaryanto menyebutkan kalau komunitas-komunitas yang ada di Lamongan bahkan telah melakukan sebuah eskavasi bersama pihak pemerintah Kabupaten Lamongan, mereka bahakan meminta anggaran pada pemerintah daerah setempat untuk bersama-sama melakukan Eskavasi pada sebuah situs, karena kurangnya tenaga ahli dari eskavasi ini mereka meminta bantuan kepada BPCB Jawa Timur untuk mengirimkan tenaga-tenaga arkeolog untuk memandu kegiatan tersebut. Dengan adanya peristiwa tersebut Pak Sudaryanto mengharapkan agar komunitas-komunitas lain khususnya dari Sidoarjo bisa berbuat seperti itu.



            Selanjutnya Bapak Muhammad Ichwan menambahkan pengalaman-pengalamannya bertugas di berbagai tempat di Jawa Timur sebagai Staff ahli yang tentunya bekerjasama dengan berbagai komunitas di daerah-daerah, seperti Madiun dan Ponorogo. Bapak Ichwan ini menjanjikan membantu mendapatkan copy dari jurnal yang dikeluarkan Balai Arkeologi Jogjakarta tentang Riset di Medowo seperti yang ditanyakan Bapak Agus Subandriyo pada kesempatannya tadi.
Waktupun makin siang, Bapak Kepala Kasi PP Edhi Widodo dalam penutupannya menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya atas kunjungan 5 Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya Sidoarjo ini. Dan mengharapkan apa yang dibahas dalam pertemuan tadi benar-benar bermanfaat bagi pelestarian di Jawa Timur khususnya di wilayah Sidoarjo yang kaya akan peninggalan bersejarah serta meminta maaf yang sebesar-besarnya atas penyambutan di kantor BPCB Jawa Timur. Sebelum menutup kalimatnya Bapak Edhi meminta pada perwakilan Komunitas yang hadir untuk menambahkan atau menyampaikan sesuatu.
            Bapak Khudori Al Wakid menyampaikan harapannya agar pihak BPCB Jawa Timur terus terbuka dan senang hati membimbing komunitas-komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya Sidoarjo ini agar pelestarian Situs-situs Sejarah yang sudah maupun yang akan ditemukan nanti akan mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat, juga agar peninggalan-peninggalan leluhur kita bisa dilestarikan dan bisa dimanfaatkan untuk kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Akhirnya acara Sambung Rasa 6 Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya Sidoarjo dengan BCPB Jawa Timur resmi ditutup pada pukul 12.30 WIB. Semoga kegiatan yang positif ini akan terus berlangsung dan meningkat tingkatnya dari waktu ke waktu. Amiiiin…





Selanjutnya kegiatan diisi dengan foto-foto bersama di depan ruangan Perpustakaan, disertai dialog-dialog hangat antara mereka yang intinya tidak jauh dari pelestarian situs dan bagaimana mekanismenya. Dialogpun makin akrab diselingi minum kopi di warung belakang kantor BPCB ini. Diakhir acara ternyata 5 komunitas yang hadir tersebut ditraktir oleh Bapak Nugroho Harjo Lukito karena kami dilarang membayar kopi pada warung tersebut, terimakasih Pak


Semoga kemesraan ini terus berjalan... Terimakasih…
Share:

21 Mei 2017

Misteri Lumpang di Makam Mbah Derpo


   Lumpang adalah sebagai salah satu peralatan dalam dapur yang biasanya terbuat dari batu. Dalam era klasik lumpang ini sangat dominan di pawon (Dapur). Fungsi lumpang adalah untuk menumbuk padi atau bahan makanan yang lain, sementara untuk menumbuknya diperlukan sebuah benda yang memanjang yang biasanya disebut Alu. Alu ini bisa terbuat dari kayu atau dari batu, tergantung kegunaan dari lumpang tersebut untuk menumbuk apa, kalau untuk menumbuk padi biasanya alunya terbuat dari kayu.
Share:

1 Mei 2017

Kedaton Kasepuhan Mojopahit


   Di sebuah hutan yang terletak di delta sungai brantas merupakan sebuah wilayah dari Alas’e Wong Trik, demikian serat pararaton menyebutkannya. Tampak dua orang yang telah berusia lanjut, seorang lelaki dan seorang wanita sedang berjalan kaki menyusuri hutan yang sangat lebat. Dari penampilan pakaiannya mereka berdua adalah pertapa yang sedang melakukan perjalanan jauh menuju Kotaraja Kahuripan untuk sebuah keperluan.

Share:

9 Februari 2017

Jejak Candi Andesit di Tengah Persawahan

Respati Kliwon 9 Februari 2017


   Sesuai rencana pagi itu sekitar pukul 09.30 WIB penulis bersama mas Aziz berangkat dari base camp menuju suatu tempat di daerah Bangsal – Mojokerto.
Share:

29 Oktober 2016

MOJOPAHIT ADA DI SEKITAR KITA

BUKAN HANYA DI TROWULAN SAJA


   Bila kita berkunjung ke Museum Mojopahit yang ada di Trowulan Mojokerto maka kita dapat menyaksikan artefak-artefak peninggalan masa Kerajaan Mojopahit disana. Mulai dari prasasti, patung, bata kuno, batu andesit, keramik dan gerabah semua ada disana, juga kotak-kotak eskavasi bekas pemukiman era itu, candi-candi maupun makam-makam.

Share:

11 Oktober 2016

HILANGNYA PERADABAN KUNO


   Begitu banyaknya cerita tentang banyaknya peradaban yang ada di Nusantara khususnya di Jawa, baik cerita itu berasal dari cerita rakyat ataupun yang sudah diteliti oleh pihak yang dianggap berkompeten yang sudah disepakati sebagai catatan sejarah masa lalu. Namun banyak dari semua itu baik yang sudah jadi literatur maupun yang masih bersifat cerita rakyat sedikit sekali bukti arkeologisnya, atau setidak-tidaknya sisa dari adanya peradaban tersebut.

   Bagaimana semua peradaban-peradaban dari kerajaan-kerajaan tersebut bisa hilang bahkan terkesan tiada sama sekali? Tentu saja banyak sekali faktor penyebabnya. Faktor alam yaitu adanya bencana alam seperti gunung meletus yang material letusannya bisa menghancurkan sebuah kota sekaligus menimbunnya sehingga lenyap, juga gempa bumi ataupun banjir yang bisa juga menyebabkan kehancuran.

   Selain faktor alam yang menyebabkan kehancuran peradaban dan melenyapkannya adalah faktor manusianya, seperti adanya peperangan antar kerajaan tersebut. Namun ada juga sebuah alasan yang cukup menghebohkan yaitu adanya sebuah hipotesa yang tahun-tahun belakangan ini cukup familiar yaitu adanya sebuah situs peradaban yang sengaja dipendam sendiri oleh pihak tertentu dimasa lalu demi menyelamatkannya dari pengerusakan. Tentu saja semua faktor di atas merupakan hasil hipotesa dari para ahli sejarah dalam memahami temuan-temuan arkeologis yang telah ada selama ini.

   Dalam hal ini kami mendengar dan mengikuti langsung pengalaman dari Komunitas Pecinta dan Pelestari Budaya Nusantara Lakon Jagad, dalam kesempatan ini kita bersama salah satu anggotanya yaitu mas Agus Mulyono.


   Dalam kesempatan Sabtu 8 Oktober 2016 kami mengajak mas Agus Mulyono untuk melihat temuan struktur bata kuno di Dusun Gapuro Desa Mojojajar Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto yang telah beredar beritanya di media sosial beberapa waktu yang lalu.

penemuan situs Mojojajar
   Dalam perjalanan penulis sengaja mengajak salah satu penggali situs Terung tersebut ke sebuah punden di Desa Mojolebak Jetis-Mojokerto. Situs Mojolebak tersebut terdapat beberapa balok andesit yang berlubang, pecahan arca, umpak andesit, sebuah patung Nandi yang terpotong kepalanya, sebuah yoni dan bata kuno yang berserakan, penulis langsung mengajak mas Agus Mulyono ke tempat tersebut.


Situs Mojolebak
   Mas Agus Mul begitu sapaan akrabnya cukup senang karena simpul-simpul tanda adanya peradaban masa silam masih bisa didapati sekalipun sudah tidak utuh lagi bentuknya seperti yang penulis sebutkan di atas, seperti Yoni, pecahan Arca, Arca Nandi, Balok Andesit yang berlubang dan umpak. Menurut pengalaman mas Agus Mul yang telah menelusuri jejak peradaban di Sidoarjo menyebutkan kalau situs Mojolebak ini cukup aman dari intervensi peradaban yang lebih muda, kenapa demikian? Karena jauh dari makam ataupun masjid, pondok ataupun pemukiman penduduk. Relatif cukup utuh dan kalaupun diadakankan penggalian sangat dimungkinkan masih ada struktur bangunan di bawah permukaan tanah.


   Dari situs Mojolebak kami menuju Dusun Gapuro. Setelah beberapa saat kemudian kami tiba di lokasi, di sana telah menunggu mas Aziz salah satu anggota Garda Wilwatikta untuk bersama menelusuri jejak peradaban.

dibawah pohon Soeko
   Di temuan struktur bata di sebidang tanah yang hendak dibangun polindes itu kami melihat galian di titik temuan ke 3 dan ke 4 yang terlihat adanya bata kuno yang tiada beraturan. Setelah cukup mengambil dokumentasi kami menuju pemakaman Dusun Sumbersari yang masih di wilayah Desa Mojojajar untuk menelusuri jejak peradaban di sana, sementara itu mas Aziz kembali ke Singkalan setelah mengantar keponakannya pulang.

   Kamipun memasuki pemakaman Sumbersari yang terlihat di tengah persawahan. Dalam penelusuran ini, penulis mengikuti mas Agus Mul mendapati beberapa benda artefak yang mengindikasikan adanya sebuah pemukiman yaitu banyaknya bata-bata kuno yang masih utuh maupun yang sudah pecah. Adanya bata lengkung (yang umumnya digunakan untuk sumur), pecahan gerabah dan pecahan batu andesit bekas dari sebuah benda atau mungkin arca.




   Dari temuan di pemakaman ini kami beranggapan bahwa persebaran situs tidak hanya berada di Gapuro saja, tetapi ada banyak dan merata di Desa Mojojajar ini.


pemakaman Sumbersari
bata kuno di pemakaman Sumbersari
   Setelah puas menelusuri jejak peradaban di Mojojajar, penulis mengajak mas Agus Mul menuju Candi Sumur Gantung yang terletak di Desa Berat Wetan. Sebuah situs yang diduga bangunan sebuah candi.



   Kamipun masuk area candi yang telah masuk Situs Cagar Budaya BPCB Trowulan itu. Kebetulan rumah bapak Sukanan (juru peliharanya) berada di sebelah barat situs candi dan beliau sedang ada disana sehingga penulis menyapa beliau dan memperkenalkan mas Agus Mul, sementara mas Agus Mul sibuk mengamati situs penulis berbincang-bincang dengan bapak Sukanan.


   Setelah mengamati dan berbincang dengan seorang warga, mas Agus Mul mempunyai sebuah pendapat kalau Candi ini sebagian besar masih terpendam di bawah permukaan tanah sekitar 55 %, Jadi yang terlihat itu adalah bagian atasnya saja. Kenapa Mas Agus Mul berpendapat demikian? Karena ratusan tahun yang lalu bisa saja ada bencana alam yang menimbun permukaan tanah termasuk menutup badan candi ini, dan itu berlangsung berulang-ulang, karena dari ratusan tahun itu sangat mungkin ada beberapa kali letusan gunung berapi yang meletus dan memuntahkan lahar yang materialnya mampu menutupi tanah sehingga permukaannya semakin meninggi.


bata kuno di Candi Sumur Gantung
Bagian atas Candi Sumur Gantung
   Dan dari semuanya itu penulis menyimpulkan bahwa hilangnya peradaban memang bisa terjadi karena beberapa faktor seperti yang disebutkan diawal, yaitu faktor alam dan faktor manusia yang motifnya juga beragam seperti karena perang atau sengaja dipendam yang masing-masing punya alasan tersendiri, atau juga adanya faktor religi dari masyarakat dahulu untuk memohon doa kepada Tuhan untuk menurunkan bencana agar peradabannya tertutup sehingga suatu saat nanti bisa dibuka dan disaksikan anak cucunya dikemudian hari.



   Demikian cerita perjalanan dari kami, mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada salah kata, semoga kita dapat menjaga dan memelihara peninggalan-peninggalan leluhur kita untuk kejayaan dimasa mendatang. Terimakasih…
Salam Nusantara…
Share:

MELINTAS BRANG LOR (utara sungai Brantas)


   Wrashpati 06 Oktober 2016, pada hari itu penulis dijemput dua punggawa Garda Wilwatikta Tado Singkalan yaitu mas Eko Finda Jayanto danmas Abdul Aziz Samsudin untuk melakukan penelusuran di daerah utara Sungai Brantas atau biasa disebut Brang Lor.


   Semingguan yang lalu terdengar adanya temuan struktur pondasi bata kuno di Dusun Gapuro Desa Mojojajar Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto, yang ditemukan oleh para pekerja ketika menggali tanah untuk menanam semacam cor (sepatu besi) dalam pembangunan pondasi Polindes.

Penemuan situs di Gapuro-Mojojajar
   Para pekerja dan warga Gapuro menggali pada dua titik, yang pertama hanya beberapa centimeter saja telah menemukan bata-bata yang berukuran besar, karena penasaran warga meneruskan penggalian sehingga mereka menemukan struktur pondasi bata.

Lihat video Temuan Situs Gapuro

Struktur bata kuno
   Atas temuan ini warga melaporkannya kepada pemerintah Desa Mojojajar yaitu kepada Kepala Desa. Setelah melihat temuan di lapangan Kepala Desa Mojojajar segera memerintahkan agar pembangunan pondasi polindes dihentikan, begitulah ceritanya sehingga berita itu menyebar lewat media sosial.

   Karena ingin melihat langsung temuan tersebut maka kami bertiga segera berangkat menuju lokasi di daerah Kecamatan Kemlagi Kabupaten Mojokerto. Karena sebelumnya mas Aziz sudah ke sana akhirnya kami tidak kesulitan menuju temuan struktur bata di Dusun Gapuro tersebut.

Garis polisi disekeliling temuan situs
   Kami bertigapun tiba di Dusun Gapuro, disana tampak ada beberapa orang warga yang berjualan makanan ringan dan minuman. Terdapat tali pembatas di sekeliling temuan situs, dan juga ada semacam papan nama di sana.

barang dagangan seorang penjual disekitar temuan situs
   Mas Eko sedang berdialog dengan ibu penjual minuman, sementara mas Aziz sedang mengambil dokumentasi di lokasi temuan yang ternyata sudah ada penggalian baru di sebelah selatan. Ada dua titik penggalian yang keduanya terdapat banyak bata-bata kunonya.


Temuan pertama
Temuan kedua
Temuan ketiga
   Di tengah-tengah asyiknya kami mengambil dokumentasi datanglah seorang warga anggota LPM desa setempat, kamipun berdialog dengan warga tersebut.

mas Agus S. berdialog dengan warga Gapuro
mas Eko Jayanto berdialog dengan warga Gapuro
   Kami menanyakan bagaimana proses penemuan juga berita tentang rencana penutupan temuan ini oleh Kepala Desa setempat dan pihak BPCB Trowulan dengan alasan bahwa temuan di Dusun Gapuro ini kurang memiliki nilai sejarah.

Bata kuno yang masih melekat dari penemuan situs
   Ternyata warga disini justru tidak mendengar berita yang beredar di media sosial tersebut, beliau malah dengan antusias menceritakan guyup dan senangnya warga Gapuro dengan temuan tersebut. Warga Gapuro menurut anggota LPM ini setiap hari terutama di malam hari selalu berkumpul di Soeko (Tempat-temuan struktur bata itu berada di kawasan Punden Soeko yang ditandai dengan adanya dua Pohon Soeko) untuk bersih-bersih situs dan berkenduri. Juga beberapa pemudanya melakukan penggalian di beberapa titik untuk mengetahui persebaran batanya.

dibawah Pohon Soeko
   Mendengar keterangan warga tersebut juga dari warga-warga lainnya yang ada di lokasi membuat kami senang, karena rasa cinta dan bangga warga Gapuro akan temuan ini cukup tinggi. Kamipun menyaksikan banyak siswa-siswa SD-SMP dari desa sekitar datang untuk melihat temuan situs tersebut. Dan menurut warga yang kebetulan menjadi pengantar surat pos, hari itu telah tiba surat dari BPCB Trowulan untuk Desa Mojojajar dan untuk Kecamatan Kemlagi. Mudah-mudahan isi surat tersebut adalah surat keterangan dari lembaga pemerintah untuk melakukan eskavasi dan penelitian di Dusun Gapuro ini.
 

   Dari dialog di bawah Pohon Soeko itu kami mendapat informasi adanya sebuah Lumpang di tengah areal persawahan, adanya sebuah Punden lain di dalam area SMP Negeri Kemlagi. Setelah meminta izin satpam sekolah tersebut kami bertiga masuk area sekolah untuk melihat punden tersebut, punden tersebut terletak di sebelah selatan pintu masuk dekat dengan pagar dengan tanah yang relatif lebih tinggi dari sekitarnya (nggumuk kata orang). Disana kami dapati sebuah makam dengan Nisan sebuah Bata kuno, ada bekas dupa dan pecahan bata kuno, kami menduga ada jejak peradaban yang merata di Desa Mojojajar ini, terlebih menurut warga ada sebuah Makam yang ada di sebelah barat desa yang konon adalah Makam Raja Buluketigo. Buluketigo adalah sebuah kerajaan yang ada di wilayah Kecamatan Kemlagi dan Kecamatan Gedeg, konon begitulah cerita rakyat setempat.

Nisan dari bata kuno di punden Mojojajar
   Dari cerita rakyat tersebut membuat kami tertarik sehingga kami bertiga ingin mencari tahu keberadaannya. Kamipun menuju Desa Berat Wetan, disana ada sebuah peninggalan yang disebut Candi Sumur Gantung.

Candi Sumur Gantung
   Menurut keterangan dari Juru Pelihara Candi Sumur Gantung ini yaitu bapak Sukanan, sebenarnya tumpukan bata kuno yang tingginya kira-kira 2.5 meter ini adalah sebuah candi namun bentuknya sudah tidak diketahui karena ditemukan sudah dalam keadaan seperti sekarang. Situs ini dimasukkan salah satu Situs Cagar Budaya sekitar tahun 1985. Dulunya di sekitar candi ini ditumbuhi pohon-pohon besar seperti Beringin dan Serut bahkan di atas Candi juga ditumbuhi beberapa pohon, namun setelah diakui BPCB pohon-pohon di atas candi tersebut ditebang supaya tidak merusak struktur candi.

Juru Pelihara Candi Sumur Gantung
   Bapak Sukanan juga sempat menceritakan kisah cerita rakyat dibalik keberadaan candi ini. Adalah seorang putri cantik (putri dari kerajaan Buluketigo) hendak dipersunting oleh seorang pangeran atau Raja dari Mojopahit untuk menjadi istrinya. Raja Buluketigo meminta syarat agar pihak Mojopahit memberi mahar dengan membuat bangunan sumur yang debit airnya lebih tinggi dari air sungai, maka segeralah dibangun sumur tersebut.


bagian atas Sumur Gantung
   Dari kisah di atas bapak Sukanan Memberikan keterangan bahwa sebenarnya dalam pembuatan candi itu bukan mengedepankan kesaktian untuk membuat air sumur lebih tinggi dari air sungai, justru disini menggambarkan tingginya teknologi masa itu. Di sekitar candi dulu dikelilingi pohon-pohon yang besar yang fungsinya adalah untuk menahan air yang ada dalam sumur (di tengah candi) agar tetap besar debitnya. Hal inilah yang membuat debit air di sumur itu lebih tinggi dari air sungai. Tak terbayang betapa hebatnya para ahli di zaman dulu telah memiliki teknologi semacam itu.

lihat video Hilangnya Peradaban
Bata-bata yang berserakan di Candi Sumur Gantung
mas Eko dan mas Aziz
   Lantas kami bertanya pada bapak Sukanan tentang dimana keberadaan pusat kerajaan Buluketigo itu. Menurut peta kuno yang dibuat Belanda, nama Buluketigo masih ada dan berada di sekitar wilayah Desa Berat Wetan dan Berat Kulon, konon di sebuah makam di Berat Wetan masih ada sebuah umpak yang diyakini bekas umpak kraton Buluketigo, juga konon dulu ada beberapa arcanya, namun kini sulit dicari keberadaannya. Disamping itu dulu banyak petani setempat kalau membajak sawah sering menemukan pecahan tembikar, bata kuno dan artefak lainnya namun lokasi tersebut kini telah menjadi lahan pabrik.

pintu masuk Candi Sumur Gantung
   Dari sedikit perjalanan melintas Brang Lor ini kami membuat sebuah kesimpulan bahwa dulu pada zaman Mojopahit di wilayah Kecamatan Gedeg dan Kecamatan Kemlagi atau mungkin lebih luas lagi terdapat sebuah Kerajaan Lokal (Kadipaten atau Tanah Perdikan) yang disebut Kerajaan Buluketigo. Tentu saja kemungkinan situs di Dusun Gapuro tersebut ada hubungannya dengan Kerajaan Lokal tersebut, namun tentu saja semua adalah dugaan semata, lebih bagus kita semua mengharapkan pihak yang berwenang meneliti temuan di Dusun Gapuro Mojojajar Kemlagi Mojokerto tersebut supaya masyarakat luas bisa mengetahui sejarah leluhurnya. Ingat Jasmerah! Jangan lupakan Sejarah!!!

   Terimakasih dan mohon maaf yang sebesar besarnya bila ada kata-kata yang salah dalam catatan kami, tiada gading yang tak retak.

Salam Nusantara...

Share:
Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya - GARDA WILWATIKTA Tado Singkalan - "Menapak Jejak, Mematri Semangat, Mengunggah dan Melestarikan Peradaban Nusantara"

Garda Wilwatikta

Labels