Adalah
kisah dari Dusun Semengko, tentang leluhur yang pertama kali melakukan babat
alas di Dusun Semengko. Nama beliau adalah Mbah Kaulan begitu warga Semengko
menyebutkannya, di suatu tempat di tepi jalan desa ada sebuah sumur yang konon
airnya tiada pernah surut walaupun diambil semua orang di Dusun Semengko,
bahkan juga dari dusun-dusun di sekitarnya air juga tidak pernah surut. Menurut
keterangan warga setempat sumur tersebut dulu bentuknya bulat tersusun dari
bata kuno yang bentuknya melingkar. Kini bagian itu masih ada di bawah namun
tertutup semen, apalagi bagian atasnya diberi bangunan tambahan berupa bis
sumur, tetapi masih ada beberapa pecahan bata kuno di dekatnya.
Dari
keterangan yang kami dengar dari beberapa orang warga yang kebetulan ada di sebuah
warung kopi dekat sumur itu, ternyata ada sebuah sumur kuno lagi yang letaknya
sebelah utara sumur yang tadi, tepatnya di sebuah kebun di bawah pepohonan jati.
Karena informasi dan waktu yang terbatas kami tidak sempat melihatnya secara
langsung.
Di dekat
sumur yang airnya masih jernih itu ada dua buah bangunan aula atau pendopo, ada
aula yg ternyata berisi beberapa makam dan sebuah aula lainnya ada sebidang
ruang kecil yang pintunya bertutup tirai kain dan di dindingnya tertulis Punden
Mbah Kaulan. Setelah minta izin warga kami melihat ke dalam ruang kecil itu, ternyata
hanya berisi sebuah meja kecil yang berisi aneka bunga yang biasa kita jumpai
di makam-makam lain yang lengkap dengan tempat dupa dan sio, tentu dengan aroma
yang khas. Menurut warga di situlah tempat warga Sumengko melakukan sesuguhan,
dulu ada sebuah batu disitu tetapi mungkin telah ditutup dengan keramik.
Di
kanan-kiri ruang itu terdapat tiga kolam yang ada ikannya, menurut keterangan
warga itu adalah sendang yang kemudian dibangun menjadi beberapa kolam. Menurut
keterangannya, sendang itu dibuat agar warga dari dusun lain tidak bercampur dengan
warga dusun lainnya yang hendak mengambil air atau melakukan ritual.
Konon
air kolam itu mempunyai khasiat utk menyembuhkan berbagai penyakit, mungkin
saja itu terjadi karena dulu sendang ini dikelilingi pohon-pohon yang besar dan
bermacam-macam jenisnya sehingga akar-akar pohon tersebut memberikan berbagai
mineral yang bermanfaat di air sendang tersebut, sehingga airnya mempunyai
berbagai macam khasiat seperti yang disebutkan diatas namun itu hanya dugaan
kami saja.
Hari pun
semakin menuju senja, perjalanan pun kami lanjutkan menuju arah utara yaitu Desa
Wates Tanjung. Dalam perjalanan naik-turun dan berkelok-kelok yang diselingi
kubangan lumpur kami mencoba mencari makna dari Wates Tanjung, Wates artinya
Batas, Tanjung artinya adalah sebuah tempat di tepi sungai besar atau di tepi
Pantai. Tapi dimana lautnya? Dimana sungai besarnya? Memang letak Desa Wates
Tanjung berada di sebelah utara Sungai Mas tetapi cukup jauh, apakah dulu lebar
Sungai Mas sampai ke Desa Wates Tanjung? atau jangan-jangan pernah ada laut di dekat
sana? Mungkin ini tidak masuk akal, tetapi bukankah di kawasan ini pernah ditemukan
fosil-fosil hewan yang seharusnya hidup dilaut? Seperti fosil kerang. Apa
mungkin dahulu kala ribuan sampai jutaan tahun yang lalu ada laut di sana?
Komunitas pelestari sejarah nusantara Lakon Jagad bahkan pernah melakukan
penelusuran sampai di Desa Wates Tanjung ini. Mereka bahkan pernah menemukan
beberapa fosil bambu, dan di beberapa tempat di kawasan kecamatan Wringinanom
ini airnya ada yang asin layaknya air laut. Kenapa bisa? Ahh.. Sudahlah…
Dari
Desa Wates Tanjung ini kami terus ke barat menyusuri jalanan bergelombang dan
berlumpur menyibak kebun jagung, kebun tebu hingga memasuki Dusun Wonokalang
yang lagi-lagi namanya menarik perhatian kami, Wono artinya Hutan, Kalang
artinya ???
Pura |
Perjalananpun
berlanjut menemui sebuah pertigaan, kami lebih memilih ke arah utara melewati Dusun
Mundu, terus melewati Desa Mondulung terus berbelok ke kiri melewati sebuah Pura
Palinggihan Surya Wilwatikta, terus berkelok-kelok naik-turun sepanjang jalan
di pegunungan kendeng sambil melepaskan pandangan untuk mencari jejak-jejak
peradaban nusantara. Hingga kami memasuki Desa Sumber Gede yang namanya saja
sudah menunjukkan sesuatu cukup mencurigakan (Sumber Gede = Sumber Air yang Besar?).
Dari desa ini kami melanjutkan melewati bebukitan di Dusun Klagen, dimana dulu
pernah ditemukan fosil manusia purba Pithecantrophus Erecthus, hingga akhirnya kami
kembali melewati Sungai Mas untuk kembali di markas kami, komunitas pecinta sejarah dan budaya Garda Wilwatikta Tado Singkalan di Desa Singkalan...
Ini
hanya catatan sederhana saja… Semoga bermanfaat, setidaknya bagi kami sendiri...
Selamat Sore...!!
0 komentar:
Posting Komentar