Lumpang adalah sebagai salah satu peralatan dalam dapur yang
biasanya terbuat dari batu. Dalam era klasik lumpang ini sangat dominan di pawon (Dapur). Fungsi lumpang adalah
untuk menumbuk padi atau bahan makanan yang lain, sementara untuk menumbuknya
diperlukan sebuah benda yang memanjang yang biasanya disebut Alu. Alu ini bisa
terbuat dari kayu atau dari batu, tergantung kegunaan dari lumpang tersebut
untuk menumbuk apa, kalau untuk menumbuk padi biasanya alunya terbuat dari kayu.
Sementara itu kehidupan klasik masyarakat Nusantara khususnya
Jawa tempo dulu tidak lepas dari symbol-simbol kehidupan. Lumpang dan
pasangannya Alu adalah simbol Lingga dan Yoni.
Lingga secara bentuknya menyerupai bentuk alat vital lelaki,
sedangkan Yoni bentuknya menyerupai alat vital perempuan. Makna yang dapat kita
cerna adalah segala bentuk kehidupan di dunia ini tidak akan lepas dari kedua
unsur tersebut. Terkadang keduanya merupakan pasangan dalam kehidupan, ada
laki-laki ada perempuan, ada gelap ada terang, ada kebaikan ada pula keburukan
dan tentu saja ada banyak contoh-contoh lainnya. Begitu sakralnya dan hebatnya
masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari yang tidak pernah lepas dari symbol-simbol
tersebut. Ada yang bilang konsep lingga-yoni itu terpengaruh Hindu, tetapi
secara hakikat konsep itu telah ada sebelum Hindu datang, bahkan di dalam
keyakinan apapun sesungguhnya konsep ini ada walau beda bentuknya.
Sebuah lumpang batu yang ukurannya cukup besar berada di area
makam Mbah Derpo Kedungsari Kota Mojokerto. Lumpang atau sebagian orang juga
menyebutnya Yoni tersebut, konon katanya mempunyai pasangan Lingganya (Alu) yang
berada di Desa Sebani Kecamatan Tarik – Sidoarjo. Tidak diketahui kenapa kedua
benda ini bisa terpisah cukup jauh, juga terpisah oleh sungai Brantas, bisa
jadi dahulu ada seseorang yang memindahkan salah satunya.
Di area Makam Mbah Derpo ini ada dua makam lain yang
dikeramatkan, yaitu makam Mbah Suto dan Makam Nyai Pandansari, di sampingnya
makam-makam dari penduduk Kedungsari. Tidak ada informasi yang pasti tentang
ketiga makam tersebut, tentang siapa, apa, dan bagaimana sejarahnya. Setidaknya
menurut informasi seorang warga yang juga ketua RW setempat, konon ceritanya
mbah Derpo itu berasal dari Kediri dan tidak diketahui dari era apa.
Dalam penelusuran di makam Mbah Derpo ini selain lumpang
tersebut kami juga dapati bata-bata kuno baik yang masih utuh atau yang sudah
pecah di beberapa tempat di pemakaman ini. Setelah cukup mengambil dokumentasi
kami minta diri dari bapak ketua RW tersebut untuk melanjutkan perjalanan ke
makam lain yang berada di sekitarnya.
Dari Makam Mbah Derpo kami menuju sebuah pemakaman dekat rel
kereta api, yaitu di pemakaman Tropodo yang terdapat dua pohon kepuh yang besar.
Kamipun memasuki area makam tersebut dan terdapat beberapa bata kuno yang
beralih fungsi menjadi nisan.
Di bawah pohon kepuh sebelah selatan terdapat
sebuah makam yang dikeramatkan. Menurut keterangan seorang warga yang kebetulan
berada di sana, makam tersebut adalah makam Mbah Bogo. Mbah Bogo adalah sesepuh
desa setempat yang mbabat alas di Tropodo. Begitulah informasi yang kami terima
dari warga.
Selanjutnya kami menuju Desa Sebani Tarik Sidoarjo untuk
melihat Alu (Lingga) pasangan dari lumpang di makam Mbah Derpo. Setelah mencari
tempat yang dimaksudkan oleh bapak ketua RW di makam Mbah Derpo tadi, kami
akhirnya menemukan benda yang dimaksud. Alu itu berada di Balai Dukuh Blere -
Sebani, namun Alu tersebut telah disemen dan cor, mungkin tujuannya supaya
tidak rusak atau hilang.
Begitulah catatan perjalanan mengais jejak peradaban kali ini. Semoga ada guna dan manfaatnya, bila ada kesalahan pada catatan ini kami terbuka dengan koreksi dan kritikan, tak ada gading yang tak retak begitulah dengan kami, Salam Nusantara…
0 komentar:
Posting Komentar