Di sebuah
hutan yang terletak di delta sungai brantas merupakan sebuah wilayah dari Alas’e Wong Trik, demikian serat
pararaton menyebutkannya. Tampak dua orang yang telah berusia lanjut, seorang
lelaki dan seorang wanita sedang berjalan kaki menyusuri hutan yang sangat
lebat. Dari penampilan pakaiannya mereka berdua adalah pertapa yang sedang
melakukan perjalanan jauh menuju Kotaraja Kahuripan untuk sebuah keperluan.
Di tengah
hutan yang lebat tersebut mereka beristirahat di sebuah tanah yang cukup tinggi
dari sekitarnya yang dalam bahasa jawa disebut genengan. Sementara itu dari arah timur genengan itu nampak seorang
lelaki yang terlihat telah matang usianya sedang menuju Genengan. Beberapa saat
kemudian lelaki itu memegang perutnya sambil meringis menahan sakit, "duh.. Dewataa!! kenapa perutku ini sakit
sekali?... sudah berbulan-bulan tiada kunjung sembuh, walau tabib-tabib
terbaikku telah memberiku obat… adakah obatnya wahai Dewata?".
Sejenak
lelaki tersebut menghentikan langkahnya karena melihat dua orang yang rambutnya
telah memutih sedang duduk bersila mengheningkan rasa memuja semadi. Setelah
menatap kedua wajah pertapa itu lelaki itu tersenyum kemudian mendekat, "wahai kekasih Dewata.. Resi Mangunkerto... Nyai Resi Mayang… adakah
kehendak Resi berdua sehingga berkenan berada di hutan belantara ini?".
Mendengar
suara lelaki itu, kedua Resi itu membuka mata dan segera menghaturkan sembah, "duh Paduka Yang Mulia Titisan Batara Wisnu…
Maharaja JawaDwipa Yang Agung Airlangga… kami berdua menghaturkan sembah Bakti".
Kemudian
Resi Mangunkerto menyampaikan maksud mereka melakukan perjalanan jauh dari
Pertapan Gluto hingga memasuki hutan itu, karena mendengar kabar penyakit yang sedang
diderita Maharaja Airlangga dan kabar hendak mundurnya Beliau dari Tahta
Kahuripan.
Setelah
mendengar maksud kedua suami istri itu lelaki yang ternyata adalah Maharaja
Airlangga itu terharu, "duh Resi
Mangunkerto, Nyai Resi Mayang… aku sangat terharu mendengar kesetiaan kalian
berdua kepadaku, walaupun tidak lama lagi aku tidak memegang tahta… maka aku
terima persembahan kalian untuk mengobati penyakitku ini".
Kemudian
Resi Mangunkerto menyerahkan buah yang dibawanya dari Gluto kepada Maharaja
Airlangga, "ini obat yang bisa
mengobati penyakit Paduka… mohon ampun Paduka, rasa buah ini sangat pahit".
Maharaja
Airlangga segera memakan buah itu, "aku
ucapkan terimakasih banyak atas obat ini Resi Mangunkerto… sekarang
dengarkanlah titahku... tanamlah benih buah yang menjadi obat atas penyakit ini
di hutan belantara ini!!! dari ujung utara hingga ujung selatan… kelak engkau berdua
akan mendapati kalau buah yang rasanya pahit ini akan terasa manis".
Zaman pun
berganti zaman, masa berganti masa hingga ada serombongan prajurit Songenep dan
Terung memasuki hutan itu, mereka membuka hutan untuk membuat pemukiman. Adalah
Narraya Sanggramawijaya seorang bangsawan dari Singosari yang telah runtuh
karena serangan Prajurit Glang Glang. Atas dukungan Arya Wiraraja dari Songenep,
Narraya Sanggramawijaya meminta pengampunan kepada Prabu Jayakatwang yang berkuasa di Daha. Kemudian Sang Raja Daha itu memberikan hutan Trik kepada
Narraya Sanggramawijaya, maka dimulailah pembabatan hutan itu. Karena kurang
perbekalan akhirnya prajurit-prajurit Songenep dan Terung terpaksa mencari
makanan di hutan tersebut. Akhirnya mereka melihat banyak buah yang terlihat
segar di hutan itu lalu segera mengambilnya, tetapi alangkah terkejut dan
kecewanya mereka karena buah itu rasanya sangat pahit. Dari kejadian inilah
akhirnya tempat yang baru dibuka itu dinamakan MOJO-PAHIT (buah Maja yang
Pahit).
Pembangunan
tempat pemukiman Mojopahit ini mulai dilakukan bukan lagi layaknya pemukiman
biasa, tetapi lebih mengarah pada pembangunan sebuah Kedaton untuk sebuah
kerajaan. Setelah tumbangnya Kerajaan Daha dan terusirnya Balatentara Mongol
dari Jawa, maka Narraya Sanggramawijaya menobatkan dirinya sebagai Maharaja
penguasa Jawa pada tanggal 12 November 1293 Masehi di Kedaton Alas Trik.
Ada sumber
yang mengatakan bahwa Kedaton Trik ini sebagai Kedaton Kasepuhan Mojopahit,
namun menurut sumber-sumber literature, hanya beberapa minggu saja Alas Trik
menjadi pusat pemerintahan, karena ada usulan dari pasukan Singosari yang baru
kembali dari Pamalayu untuk memindahkan pusat pemerintahan ke pedalaman. Sebab menurut pengalaman mereka, sangat riskan bila pusat pemerintahan berada di dekat
sungai karena mudah diserang musuh.
Sebagian
ahli berpendapat berbeda kalau perpindahan pusat pemerintahan itu terjadi
setelah peristiwa terbunuhnya Ranggalawe. Bahkan ada juga yang berpendapat
pemindahan itu terjadi pasca pemberontakan Ra Kuti karena ada sebuah pakem yang
telah diyakini di Jawa, bila Kedaton dikuasai musuh maka kedaton itu harus
ditinggalkan.
Namun
bagi kami komunitas pecinta sejarah dan budaya Garda Wilwatikta maupun Satrio
Puser Mojopahit, kalau semua peninggalan Mojopahit di bekas Alase Wong Trik (kini menjadi Tarik) harus dicari, didata, dan sebisa
mungkin diselamatkan.
Beberapa
tempat di Kecamatan Tarik terindaksikan jejak-jejak peradaban seperti Desa
Medowopuro, Klinter Rejo yang dahulu pernah diriset oleh Balai Arkeologi Jogja
sejak tahun 1986-1994. Dan di desa-desa lainnya yang telah ditelusuri juga
terdapat jejak peradabannya walaupun masih sekelas bata kuno.
Temuan Dorpal |
Batu Dakon |
Lumpang |
Beberapa
waktu yang lalu team Garda Wilwatikta melakukan penelusuran dengan komunitas
Satrio Puser Mojopahit. Dalam penelusuran yang sempat kami lakukan itu, kami
mendapati kerusakan yang parah di area Pagenengan di Medowopuro oleh aktivitas
pembuatan bata yang terjadi beberapa tahun silam selepas riset Balar Jogja 1994.
Banyak pecahan tembikar di sebelah utara pemakaman Klinter Rejo, tepatnya di
area yang ditanami tebu, juga adanya struktur bata di kanan-kiri sungai di
sebelah utara pemakaman Klinter Rejo. (Mukhamad Sultoni)
Pecahan Lumpang (by Mukhamad Sultoni) |
Pecahan Tembikar |
Tungku Tempat Abu (by Mukhamad Sultoni) |
0 komentar:
Posting Komentar