Soma Legi, 20 Februari
2017
.
Menurut berbagai sumber dalam literatur sejarah kerajaan Medang itu awalnya berpusat di Jawa Tengah yang telah mendirikan berbagai macam peninggalan peradaban yang sangat tinggi nilainya, seperti Prambanan, Candi Sewu, bahkan Candi Borobudur konon juga dibangun pada masa Medang atau Mataram ini.
Seiring
berlalunya waktu, berbagai peristiwa dan sebab akhirnya Mpu Sindok memindahkan
pusat kerajaan yang pernah berjaya itu ke Jawa Timur. Menurut dugaan para ahli
sejarah pusat pemerintahan Medang sempat ada di Tembelang Jombang namun kemungkinan
pernah berpindah-pindah.
Adalah
sebuah tempat di tengah persawahan yang ditumbuhi beberapa pohon yang cukup
rimbun dengan nuansa wingit. Menurut informasi dari Nur Wikayat seorang warga
Jombang, tempat itu disebut warga setempat sebagai Punden Mbah Pande Gong. Hal
itu juga penulis kroscekan dengan keterangan seorang warga setempat yang
berjualan es degan di tepi jalan dekat punden tersebut.
Saat itu penulis bersama mas Aziz Samsudin mendengarkan cerita warga tersebut sambil minum es degan yang segar. Menurut cerita orang-orang dahulu, kalau ada warga yang mempunyai hajat -ingin nanggap wayang kulit atau sekedar campursari- yang tentunya membutuhkan seperangkat gamelan, maka warga Nggarutan akan suguh sesaji atau tumpengan di punden tersebut, setelah itu maka seperangkat gamelan akan datang di rumah warga yang punya hajatan tersebut. Begitulah kisah dari warga penjual es degan itu, benar tidaknya cerita itu tentu saja warga tersebut juga tidak tahu.
Saat itu penulis bersama mas Aziz Samsudin mendengarkan cerita warga tersebut sambil minum es degan yang segar. Menurut cerita orang-orang dahulu, kalau ada warga yang mempunyai hajat -ingin nanggap wayang kulit atau sekedar campursari- yang tentunya membutuhkan seperangkat gamelan, maka warga Nggarutan akan suguh sesaji atau tumpengan di punden tersebut, setelah itu maka seperangkat gamelan akan datang di rumah warga yang punya hajatan tersebut. Begitulah kisah dari warga penjual es degan itu, benar tidaknya cerita itu tentu saja warga tersebut juga tidak tahu.
Setelah
mendengar cerita itu kami berdua menuju punden Mbah Pande Gong dengan berjalan
kaki, karena tidak ada akses jalan masuk ke sana sementara motor kami titipkan
pada penjual es degan tadi. Kami menyeberangi saluran air kemudian melewati
tepi sungai lalu melewati pematang sawah menuju lokasi.
Di pematang sawah kami mendapati pecahan bata kuno tercecer diantara padi yang menguning. Dengan hati-hati kami mulai masuk area Punden tersebut karena rumput cukup lebat dan kami khawatir jika ada ular disana, setelah berdoa dan menyapa kami masuk.
Di pematang sawah kami mendapati pecahan bata kuno tercecer diantara padi yang menguning. Dengan hati-hati kami mulai masuk area Punden tersebut karena rumput cukup lebat dan kami khawatir jika ada ular disana, setelah berdoa dan menyapa kami masuk.
Punden
Mbah Pande Gong ini kira-kira berukuran 30 x 50 meter. Terdapat sebuah makam
disini, mungkin inilah yang dimaksud makam Mbah Pande Gong, disebut begitu
karena diwaktu-waktu tertentu dari punden ini terdengar suara Gong salah satu
alat dari gamelan. Terdapat pecahan bata kuno yang dikumpulkan di bawah
beberapa pohon, ada juga beberapa yang masih utuh terlihat disana, ada beberapa
takir yang berisi daun-daun seperti yang biasa dibuat sajen di beberapa tempat.
Selanjutnya kami berdua menuju sebuah tangga yang disusun dari bata-bata kuno menuju tempat yang tinggi, disana tampak bata-bata kuno disusun seperti pelataran, kemungkinan ini tempat untuk warga berkenduri. Di tempat ini dikelilingi beberapa pohon yang di bawahnya terdapat rumput cukup lebat.
Selanjutnya kami berdua menuju sebuah tangga yang disusun dari bata-bata kuno menuju tempat yang tinggi, disana tampak bata-bata kuno disusun seperti pelataran, kemungkinan ini tempat untuk warga berkenduri. Di tempat ini dikelilingi beberapa pohon yang di bawahnya terdapat rumput cukup lebat.
Menurut
dugaan kami bagian inti sebuah bangunan yang kemungkinan ada di bawah tanah di punden
ini adalah disini, melihat dari pecahan-pecahan yang tersebar kemungkinan
bangunan disini ada sebuah altar tetapi tentu saja itu hanya sebatas dugaan
kami saja.
Ukuran bata kuno disini panjangnya 32 x 22 centimeter dengan tebal 7 sampai 8 centimeter. Kemungkinan berasal dari era Mojopahit atau bahkan bisa dari era Medang Mpu Sindok mengingat jejak Medang juga ada di wilayah Jombang ini.
Penulis
juga sempat mengontak mas Nurwikayat untuk bisa bersama-sama menelusuri situs
ini, namun karena suatu hal dan sempitnya waktu akhirnya kami belum bisa
bertemu di punden Mbah Pande Gong ini.
Dalam
penelusuran kali ini kami semakin yakin akan banyaknya situs-situs yang berasal
dari berbagai zaman itu luas merata di semua tempat di pulau Jawa ini. Sungguh
itu merupakan bukti keberadaan peradaban Agung Nusantara dari zaman ke zaman
yang seharusnya dipelajari, ditelusuri dan diambil hikmahnya bagi kehidupan
dimasa kini.
Setelah
puas menelusuri punden Mbah Pande Gong kami memutuskan untuk kembali pulang, di
tengah perjalanan kami menyempatkan untuk mampir ke Trowulan tepatnya di situs
Sumur Upas dan Candi Kedaton.
Demikianlah
penelusuran jejak peradaban hari ini, Terimakasih atas informasi dari mas
Nurwikayat dan mohon maaf atas segala kekurangan dari catatan yang seadanya ini,
Terimakasih…
D Pandhe gong kmrn baru di temukan kepala arca....apa blh tidak di lanjutkan dg penggalian2? Kebetulan tanah pandhe gong pajak tanah atas nama org tua saya?? Bkn y apa2....pandhe gong adalah sejarah desa kami...bkn y musyrik...org2 percaya...pandhe gong adalah pusat dr desa kami...yg ngejaga keseimbangan desa kami...
BalasHapus