G A R D A W I L W A T I K T A

Blog ini bertujuan sebagai wadah/sarana ilmu pengetahuan, sejarah, mitos, dan juga pencarian jejak-jejak peradaban peninggalan Kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Silahkan bagi yang ingin mengikuti komunitas ini kita bisa belajar bersama-sama, karena kami juga sangat minim pengetahuan, dan diharapkan kita bisa sharing berbagai informasi tentang sejarah yang ada di Nusantara ini...

Laman

6 Juni 2016

KUNJUNGAN DI LUKREJO


   Raditya 29 Mei 2016, Team GARDA WILWATIKTA berkesempatan mengunjungi Desa Lukrejo yang berada di Kecamatan Kalitengah Lamongan.



Tak banyak yang kami ketahui tentang Desa Lukrejo atau biasa disebut warga dengan sebutan desa Ngeluk kecuali dari buku “Jatidiri Gajah Mada dan peranan Umat Islam Majapahit” yang ditulis oleh mas SofyanSunaryo Al Jawi yang leluhurnya berasal dari Lukrejo. Kami tidak memabahas tentang peradaban yang ada di sini karena telah dibahas dalam bukunya mas Sofyan diatas, kehadiran kami di sini semata-mata ingin bersilaturahim dengan pemuda-pemuda Lukrejo yang tergabung dalam SATYAH TLATAH LAMONG, yaitu sebuah komunitas pecinta Sejarah dan Budaya yang kebetulan pusatnya ada di Lukrejo.


   Kami berdua (Penulis dan mas Eko Finda Jayanto ketua Garda Wilwatikta) berangkat dari Singkalan sekitar pukul 08.00 WIB. Dengan melalui jalur Dawar Blandong – Balong Panggang berbelok ke barat menuju Mantup, dari Mantup kami mengikuti jalan menuju Kota Lamongan, sekitar pukul 09.00 WIB kami memasuki Kota Lamongan dan beristirahat sejenak di depan Masjid Agung Lamongan yang berada di dekat Alun-alun.



Dari sana kami mencari informasi arah jalan menuju desa Lukrejo. Setelah beberapa kali bertanya akhirnya kami berada di jalur yang benar menuju tujuan kami yaitu Desa Lukrejo. Sekitar pukul 09.45 WIB kami akhirnya mencapai pintu masuk Desa Lukrejo. Penulis segera mengirim SMS kepada salah seorang pemuda Lukrejo untuk mengabarkan kehadiran kami, tak lama kemudian mas Lukman datang menjemput kami.


   Kami berdua segera mengikuti mas Lukman menuju rumah Pak Suwanto salah seorang warga Lukrejo, di sana kami diterima dengan hangat oleh mereka. Setelah beberapa saat terlibat perbincangan yang hangat kami pun minta diantarkan sowan ke rumah Pak Kades Lukrejo, namun Beliau sedang tidak berada di rumah, begitu juga saat ke rumah Bapak Kartam mantan kades juga Beliau tidak berada di rumah.







Akhirnya kami beritiga menuju Makam Mbah Piluk, di sana pak Suwanto dan para pemuda sudah berada di sana. Kami kembali berbincang-bincang tentang situs yang ada di Desa Lukrejo ini termasuk berbagi macam kisahnya. Di sini para pemuda menyimpan pecahan artefaknya.




  Kami pun masuk ke dalam area makam Mbah Piluk atau yang nama lengkapnya Ki Lukman Hakim. Tentang siapa beliau, telah dikupas dalam Buku Jatidiri Gajah Mada oleh mas Sofyan Sunaryo Al Jawi, namun versi tentang siapakah Mbah Piluk itu sendiri ada beberapa macam versinya, demikian yang kami dengar dari Pak Suwanto dan beberapa warga lainnya. Sayangnya Makam Mbah Piluk sudah direnovasi lebih modern sehingga sulit mencari kekunoannya. Menurut informasi dari warga di area Makam ini dulu banyak struktur bata kuno yang kini telah tertutup oleh bangunan Makam, juga temuan-temuan Kerangka Manusia yang ditemukan ketika hendak membangun Pendopo Makam kemudian kerangka-kerangka tersebut dipendam kembali, kini ada di bawah lantai keramik pendopo.



   Setelah itu kami diajak para pemuda menuju sebuah tempat di belakang Balai Desa Lukrejo yang kini menjadi tambak, menurut warga di tempat itulah dulu pernah ditemukan uang kepeng gobog dalam sebuah Guci dan baju besi yang konon milik leluhur desa ini. Mungkin baju besi ini seperti yang dimaksudkan mas Sofyan Sunaryo tentang tujuh buah baju besi milik pengikut Ki Lukman Hakim yang konon baju besi tersebut adalah baju besi tentara Mongol yang dirampas Prajurit Mojopahit ketika awal-awal Mojopahit berdiri (konon baju-baju besi tersebut dipakai kesatuan pengawal Raja yaitu Bhayangkara). Tentara Mongol merampas Baju besi tersebut dari Kerajaan Abbasiyah yang pusatnya berada di kota Baghdad.



   Setelah itu kami menuju situs Mbok Rondo Kuning (Situs Roboto) yang berada di tengah tambak, di tengah rerimbunan rumput gajah atau disebut warga sebagai Embet. Karena teremdam air kami tidak bisa mendekat ke situs ini. Banyak versi yang beredar tentang situs ini, ada yang bilang ini janda Cina, ada yang bilang seorang janda pendatang dari luar daerah yang kemudian tinggal di sana.




   Di sekitar situs Mbok Rondo Kuning terdapat juga bata-bata kuno yang ditemukan baik yang masih utuh maupun yang sudah pecah, demikian pula pecahan gerabah lainnya. Ketika kami kembali menuju ke motor kami secara tidak sengaja putra bapak Kartam mantan kades Lukrejo sedang lewat kemudian mas Lukman Hakim memanggil beliau kemudian mas Lukman Hakim memperkenalkan kami kepada putra bapak Kartam tersebut yang ternyata bernama bapak Didik. Setelah berdialog sebentar bapak Didik mengajak kami menuju makam desa Cluring, “Mumpung berada di Ngelukrejo monggo melihat sebuah tulisan yang ada di sebuah pohon yang menurut informasi tetua desa Cluring tulisan yang tidak bisa dibaca itu telah ada sejak mereka masih kecil.“ Begitu ajak bapak Didik kepada kami. Kami pun segera mengikuti beliau menuju makam Desa Cluring.


   Sesampainya di makam Cluring tersebut kami segera memasuki tengah area pemakaman yang ada pohon besarnya, di situlah ada semacam aksara yang diukir di pohon ( ternyata tulisan tersebut bukan termasuk tinggalan arkeologi ).




   Setelah memberi penjelasan tentang kegiatan yang pernah beliau lakukan bersama mas Sofyan Sunaryo beberapa tahun yang lalu di Desa Lukrejo dan sekitarnya, bapak Didik sebenarnya ingin mengajak kami ke sebuah tempat dimana ada sebuah inskripsi huruf kuno di sebuah nisan namun karena waktu kami yang terbatas akhirnya kami mohon diri untuk segera kembali ke Sidoarjo.




   Ada beberapa poin yang kami dapatkan dalam kunjungan kali ini, yaitu belum adanya kesadaran dari pihak pemerintah desa maupun dari masyarakat akan pentingnya pelestarian benda-benda bersejarah yang ada di sekitar kita. Adanya keengganan pemerintah desa memberi tempat untuk menyimpan benda-benda bersejarah yang ditemukan di Desa tersebut. Kedua adanya kesengajaan dari beberapa oknum pelestarian sejarah yang kurang memperhatikan keberadaan benda-benda bersejarah yang pernah ditemukan, contoh adanya oknum yang tidak mau mengembalikan benda-benda bersejarah ke tempat asalnya.

   Semoga ada guna dan manfaatnya dari kunjungan Team GARDA  WILWATIKTA kali ini terima kasih…


Salam Nusantara…

Lihat Video disini

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya - GARDA WILWATIKTA Tado Singkalan - "Menapak Jejak, Mematri Semangat, Mengunggah dan Melestarikan Peradaban Nusantara"

Garda Wilwatikta