G A R D A W I L W A T I K T A

Blog ini bertujuan sebagai wadah/sarana ilmu pengetahuan, sejarah, mitos, dan juga pencarian jejak-jejak peradaban peninggalan Kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Silahkan bagi yang ingin mengikuti komunitas ini kita bisa belajar bersama-sama, karena kami juga sangat minim pengetahuan, dan diharapkan kita bisa sharing berbagai informasi tentang sejarah yang ada di Nusantara ini...

Laman

30 Desember 2017

Selayang Pandang Situs Urang Agung

     Urangagung adalah sebuah kelurahan yang terletak di Kecamatan Sidoarjo Kota, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang kini terkenal karena ada temuan Situs Purbakala yang kini dinamakan masyarakat sebagai Situs Sendang Agung. Sebelum adanya temuan Situs Purbakala tersebut sekitar bulan September 2015 komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya Lakon Jagad dan Balasatya Wetan bersama dengan seorang Arkeolog Numismatik Indonesia dari Cilincing Jakarta, Sofyan Sunaryo Direktur Numismatik Indonesia sempat melakukan survey di beberapa titik di wilayah Urangagung salah satunya di makam Urangagung terdapat bata-bata kuno yang telah beralih menjadi Nisan, beberapa pecahan batu pipisan serta bata lengkung.

     Penemuan Situs Purbakala pertama kali diinisiasi oleh Bapak Sugiantono pada tanggal 1 Oktober 2015 pukul 17.00 WIB ketika membuat galian sumuran untuk menyirami tanaman Jagung. Beliau menemukan tumpukan bata kuno yang masih terstruktur di tempat itu, lalu temuan tersebut dilaporkan pada pengurus RT/RW setempat yang memancing perhatian warga Dusun Njaretan untuk melihatnya.

     Setelah mendapat laporan dan melihat langsung temuan Bapak Sugiantono tersebut segera diadakan kerja bhakti warga setempat untuk memastikan seberapa luas dan bagaimana bentuknya, didasari dengan kuatnya rasa penasaran warga atas temuan tumpukan bata kuno itu. Setelah beberapa waktu akhirnya struktur bata yang diduga sebuah bangunan irigrasi itu pun mulai tampak, berita penemuan Situs Purbakala di Urangangung itu menggema ke berbagai penjuru. Berbondong-bondong warga dari desa lain melihat temuan tersebut sampai-sampai mereka membawa botol-botol kosong air mineral untuk mengambil air dari Situs tersebut dengan berbagai keperluan.

     Dengan semakin gencarnya pemberitaan temuan Situs ini akhirnya pihak-pihak terkait mulai berdatangan seperti pemerintah kelurahan, kecamatan Sidoarjo Kota, Polsek Kota Sidoarjo, bahkan BPCB Trowulan yang datang untuk melihat temuan tersebut, termasuk salah satu calon wakil bupati Sidoarjo saat itu tengah menuju Pilbup yaitu Cak Nur beserta rombongan juga melakukan kunjungan di Njaretan Urangangung. Pemberitaan melalui media massa sangat gencar terhadap Situs ini sebagaimana diberitakan Jawa Pos pada tanggal 2 Maret 2016. Menurut hasil penelitian Dinas Kesehatan kabupaten Sidoarjo menyatakan bahwa Ph air Sendang Agung berada diatas normal (bersifat alkali), artinya air di Sendang Agung ini layak dikonsumsi untuk kesehatan masyarakat. Team dari mahasiswa ITS Surabaya juga terjun di Situs Sendang Agung ini, mereka membantu pencarian Situs lainnya yang kemungkin tersebar dengan melakukan Survey Georadar seperti yang pernah mereka lakukan pada Situs Pelawangan Suwaluh Balongbendo.

     Setelah penemuam struktur bata kuno yang diduga bangunan irigrasi era Kadhiri tersebut disusul dengan temuan kedua pada bulan Desember 2015 yang berupa sumur kuno yang berbentuk oval dengan kedalaman 5 meter, terletak di sekitar 50 meter sebelah utara temuan pertama.

     Berikutnya temuan ketiga berada tepat di utara temuan pertama yang berupa struktur bata pada bulan Januari 2016. Dan disusul lagi temuan keempat yang berada di sebelah barat temuan ketiga pada bulan Desember 2016.

     Temuan kelima yang berada di selatan temuan pertama sekitar bulan November 2017 inilah yang sempat heboh, karena Pihak BPCB Trowulan segera datang bersama dinas terkait kabupaten Sidoarjo melihat temuan kelima dengan membawa sebuah teguran keras pada warga Njaretan khususnya pada pengurus Paguyuban Sendang Agung untuk menghentikan penggalian yang dianggap liar dan melanggar Undang-Undang Cagar Budaya. Sempat terjadi perdebatan yang sengit antara BPCB Trowulan dengan warga.

     Warga meminta kejelasan status Sendang Agung pada BPCB yang selama ini memang belum jelas sehingga warga merasa tidak melakukan kesalahan karena belum adanya kejelasan status Situs tersebut. Namun warga dengan legowo akhirnya menghentikan penggalian tersebut sambil terus berupaya memperjuangkan status Situs Sendang Agung ini supaya diakui secara resmi sebagai Situs Cagar Budaya.


         Dua hari setelah Kirab Agung 7 Tumpeng yang telah ketiga kalinya digelar di Sendang Agung tepat hari Kamis warga secara tidak sengaja menemukan lagi sebuah situs yang berjarak sekitar 7 meter dari temuan sumur , lagi- lagi sebuah sumur kuno ditemukan ketika membuat galian sumuran , temuan ini merupakan temuan yang keenam .
           
             Sekali lagi tanpa disengaja Mbah Gino kuncen sendangagung, menemukan sumur kuno kemarin 13 september 2018 sekitar pukul 16.00 WIB sore ketika Mbah Gino berniat untuk membuat sumuran buat menyirami tanaman kacang ijonya,tanpa disengaja pada kedalaman sekitar 120m an cangkulnya membentur pada benda keras, ketika di lihat ternyata itu bata lengkung.
      Karena penasaran penggalian dilanjutkan untuk memastikannya , akhirnya terlihatlah sebuah sumur kuno itu. 
      Penemuan ini akan segara dilaporkan ke pihak terkait ,harapan masyarakat Pagayuban Sendang Agung akan ada tinjauan dan pendampingan dari pihak BPCB. 

     Memang sekitar Situs Sendang Agung ini diduga masih banyak sekali struktur bangunan yg masih terpendam, h al ini dibuktikan dengan hasil penelitian dari pihak ITS akhir tahun 2015 lalu , Grafik geolistrik ITS menunjukkan memang banyak sekali diduga struktur bangunan kuno di sekitar Situs Sendang Agung.
      
     Demikianlah dengan semakin banyak temuan di Sendang Agung khususnya dan Sidoarjo umumnya akan mendorong pihak Pemerintah Kabupaten dan DPRD Sidoarjo untuk segera menerbitkan Peraturan Daerah Tentang Cagar Budaya untuk melindungi dan melestarikan situs - situs tersebut.

Semogaaa!!!

Salam Nusantara!!!

Share:

29 Desember 2017

Jejak Patirtaan di Alas Trik


     Di sebuah dusun yang konon mempunyai jejak sejarah lebih tua dari Trowulan, adalah sebuah dusun yang konon merupakan tempat pembukaan Hutan Trik tempat pertama kali dicetuskannya sebuah nama yang menggetarkan dunia "Mojopahit!"

     Adanya sebuah pemukiman biasanya tidak jauh dari ketersediaan air sebagai kebutuhan utama kehidupan manusia sehari-hari, demikian pula di dusun yang diduga sebagai pemukiman awal Mojopahit ini. Terdapat sebuah sumber mata air yang dulunya sangat jernih airnya. Warga menamakan sumber air tersebut dengan istilah "Sumber".
     Sebagian warga menyebutnya dengan nama "Sendang Otik" yang maknanya sebuah sumber air atau telaga yang dikelilingi pepohonan. Konon menurut cerita rakyat yang berkembang Sendang Otik ini merupakan tempat bersuci sebelum memasuki sebuah bangunan suci. Bangunan suci yang dimaksudkan dalam cerita rakyat ini adalah sebuah Puri tempat kediaman Raja atau Puri Dalem.
     Namun seiring berjalannya waktu sumber air tersebut kini kondisinya sangat memperihatinkan. Semak-semak belukar telah menutupinya sehingga sulit sekali untuk mengetahui luasnya. Belum lagi tempat itu menjadi tempat pembuangan sampah dan kotoran hewan. Sungguh sangat miris bila melihat sejarah besar yang pernah timbul di dusun ini, sebuah tempat dimulainya sebuah kejayaan yang melambungkan Nusantara dikancah dunia.


     Raditya 24 Desember 2017 yang lalu beberapa orang dari 6 Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya Sidoarjo melakukan penelusuran jejak peradaban di beberapa titik di dusun tersebut. Dalam penelusuran yang sebelumnya telah berkali-kali dilakukan itu mereka menemukan sebuah artefak penting yang menguatkan dugaan pemukiman awal Mojopahit, yaitu sebuah batu berlubang yang ditemukan di sebelah barat Sendang Otik diantara tumpukan batu di sudut sebuah rumpun bambu (Barongan) setelah melihat secara seksama batu berlubang tersebut dibersihkan dengan menggunakan kuas. Setelah dibersihkan terlihat ukirannya di beberapa bagian yang luput dari kerusakan, salah seolah anggota dari 6 Komunitas tersebut mengenalinya dengan istilah Batu Pancuran atau Jaladwara biasanya ada di patirtan.


       Temuan batu Jaladwara bermotif Makara ini sangat penting artinya bagi penelusuran jejak peradaban khususnya didusun ini dan umumnya di desa-desa lain yang termaktub dalam lingkungan Alas Trik ini karena akan semakin memperkuat dugaan kalau pemukiman awal Mojopahit memang berada disini. Atas temuan ini 6 Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya mempunyai dugaan bahwa masih banyak artefak-artefak penting lainnya masih tersimpan di dusun ini, bahkan mereka menduga pernah ada sebuah bangunan Patirtan di dusun ini. Tentu saja dugaan letak Patirtan tersebut tidak jauh dari Sendang Otik.


     Dugaan itu semakin diperkuat cerita warga setempat tentang sebuah batu berbentuk altar yang berada di tengah Sendang Otik ketika masih berfungsi dulu, namun dugaan-dugaan tersebut masih butuh artefak-artefak pendukung lainnya untuk itulah 6 Komunitas tersebut terus melakukan penyisiran di beberapa titik dan bersosialisasi merangkul semua pihak agar bersama-sama uri-uri peninggalan Leluhur kita yang di masa kejayaannya telah menjadi Mercusuar Dunia di dusun ini maupun desa-desa lain yang masuk lingkungan Alas Trik.


     Demikianlah sebait dua bait kalimat yang bisa kami sampaikan di artikel ini, semoga dengan berjalannya waktu makin tumbuh kesadaran di hati kita semua untuk kembali ke Jatidiri Bangsa Kita, Jatidiri Bangsa yang pernah menjadi Mercusuar Dunia...

Salam Nusantara...
Share:

25 November 2017

Kenapa Banyak Bata Kuno di Makam-makam?


       Respati, Kamis Pahing November 2017. Setelah hampir 3 bulan lebih Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya Garda Wilwatikta akhirnya melakukan penelusuran Jejak Peradaban kembali, ya.. memang waktu dalam 3 bulan itu kita disibukkan dengan berbagai kegiatan lintas komunitas yang tergabung dalam 6 Komunitas di Sidoarjo yang bersama-sama bergotong-royong menggiatkan Pelestarian Sejarah dan Budaya.

Seperti biasa kami berangkat dari Tado sebelum jam 08.00 WIB menuju arah timur menyusuri jalan di tepian sungai Mangetan untuk menelusuri tempat-tempat yang belum sempat kami datangi. Memasuki tempat dimana Lumpang Buyut Tatu yang berada di Dusun Karang Wungu kami berbelok ke kiri memasuki jalanan yang berpaving, lalu berbelok ke kanan menyusuri jalan yang di samping kirinya ada persawahan. Tak jauh dari sana kami berhenti di sebuah Pemakaman Umum yang berada di kanan jalan.



Tanpa banyak kata kami bertiga segera berpencar mencari-cari keberadaan bata kuno di Pemakaman Dusun Karang Wungu itu. Memang tidak banyak yang kami temui, hanya ada beberapa saja bata kuno yang telah beralih fungsi menjadi Nisan. Kebetulan di pemakaman tersebut ada dua orang yang sedang membersihkan makam, salah satu diantaranya memberi info kalau bata-bata kuno di pemakaman ini hanya sedikit, tetapi menurut bapak yang usianya sekitar 60an ini dulu banyak bata kuno terutama di pemakaman kuno yang letaknya di barat pemakaman umum ini. Sementara itu Mas Eko Finda Jayanto bertanya pada bapak yang usianya lebih muda tentang bata kuno, bapak ini menjawab kalau dulu sekali di pemakaman ini khususnya di bagian timur, banyak sekali bata kunonya kalau melakukan penggalian. Dari dialog dengan kedua bapak tersebut dapat kami simpulkan kalau dulu di area pemakaman umum Karang Wungu dan sekitarnya ada bekas peradabannya.



       Dari Pemakaman Umum Karang Wungu ini, perjalanan kami lanjutkan ke arah timur. Di tengah persawahan kami melihat setidaknya ada tiga tempat yang ada pohonnya. Ketiga tempat itu kemungkinan ada punden di daerah Karang Wungu, kerena jalan harus melewati galengan yang baru dibuat oleh petani kami memutuskan untuk tidak masuk ke sana karena tidak enak kalau galengan yang baru dibuat itu rusak karena kami lewati.

Perjalananpun kami lanjutkan membelah dusun Plumpang dan Kedungsari lalu berbelok ke utara menuju arah pasar Surungan. Di tengah perjalanan tersebut kami berhenti karena penasaran ada sebuah gumukan di kiri jalan.


Akhirnya kami pun menuju gumukan tersebut mencari-cari kemungkinan adanya jejak seperti bata kuno atau pecahan gerabah, namun tidak kami temukan. Mungkin tertimbun di dalam tanah atau memang sudah hilang. Dari adanya akses jalan yang hendak dibangun, kemungkinan gumukan ini adalah sebuah punden desa.



Dari gumukan tadi kami menuju Pemakaman Umum desa Penambangan yang berada di utara Balai Desa Penambangan. Memasuki area pemmakaman, kami sudah disuguhi bata-bata kuno yang beralih fungsi menjadi Nisan atau bahkan menjadi alas jalan.



Dalam penelusuran kami di Pemakaman Umum Desa Penambangan ini kami menduga pernah ada sebuah pemukiman di sekitar tempat ini, kami juga berdialog dengan seorang warga yang sedang membersihkan makam tentang asal-muasal bata kuno yang banyak ditemukan disini. Menurut Bapak yang kebetulan kami temui itu, kalau ada warga yang meninggal dunia biasanya akan ada penggalian untuk liang kubur, nah dari penggalian itulah ditemukannya bata-bata kuno itu, yang kemudian dinaikan ke atas dan dibuat Nisan atau sekedar ditata di atasnya. Kebanyakan bata-bata tersebut ditemukan dalam keadaan tidak tertata. Sekitar dua tahun yang lalu Penulis juga pernah menelusuri pemakaman ini dan di sebelah timur pemakaman ini ditemukan sebuah lumpang yang terletak di luar rumah warga.

Setelah cukup membuat dokumentasi perjalanan kami lanjutkan menuju Jeruk Legi. Dalam Naditira Pradesa Amambangi disebut nama-nama pelabuhan sungai yang ada disungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas, salah satunya adalah Jruk, Sarbha,Waringin Pitu, Trung. Dari tulisan yang pernah ditulis seorang peneliti dari Kediri yaitu Mas Munib tentang pergeseran aliran Sungai Brantas dan anak-anak sungainya menyebutkan bahwa kemungkinan ketiga pelabuhan yang disebutkan di atas ada di daerah Balongbendo yaitu Sarbha (Dusun Serbo - Bogem Pinggir), Waringin Pitu (Dusun WaringinPitu - Bakalan WringinPitu) dan Jruk (Desa Jeruk Legi).

Dugaan tempat pelabuhan penyeberangan tersebut ada di pemakaman Dusun Sudimoro Desa Jeruk Legi yang berada di sebelah barat sebuah Masjid, terletak diantara dua sungai yaitu Sungai Mas di utara dan anak Sungai Mangetan di sisi selatannya.

Dalam penelusuran kami di area pemakaman itu terdapat bata-bata kuno yang telah beralih fungsi menjadi Nisan atau sekedar ditata diatas makam, sementara di sebelah utara pemakaman itu terdapat aliran Sungai Mas yang mengalir dengan derasnya. Lembah sungai pun cukup lebar, menurut dugaan kami dulu di dekat pelabuhan penyeberangan ada sebuah pasar atau pemukiman yang bekas-bekasnya kini menjadi pemakaman.




       Selanjutnya kami terus menyusuri jalanan yang berada di tepi selatan Sungai Mangetan melewati Jrebeng, Bakalan, Dangsal, Tempel, Watugolong hingga ke selatan menuju Sidorono Bareng Krajan untuk menemui Senior kami yaitu Mas Agus Mulyono yang biasa kami sebut Mbah Mulo.


Dalam perbincangan hangat dengan Mbah Mulo kami ditunjukkan sebuah Makam atau petilasan yang ada di Bareng Krajan yaitu Makam Sentono Rejo yang konon menurut cerita masih ada hubungannya dengan Kadipaten Trung. Dalam perjalanan pulang kami sempatkan mampir kesana. Setelah mencari-cari akhirnya kami menemukan situs yang dimaksudkan.




Sebuah tempat di tengah-tengah pemukiman warga yang tingginya sekitar 2.5 meter dengan dikelilingi tembok bata tanpa lepo. Dibagian timur ada sebuah tangga kecil menuju pintu masuk di atas yang berpintu besi. Diantara anak tangga itu ada beberapa balok andesit yang ditata. Sebenarnya kami mau bertanya atau izin dulu pada warga untuk masuk tetapi tidak ada warga yang terlihat akhirnya kami naik dan mendokumentasikannya. Setelah pintu besi kami buka terdapat bangunan tembok, akhirnya kami memilih masuk lewat kanan. Di sana terdapat dua buah makam yang cukup panjang, diantara dua makam ada semacam lantai yang memisahkannya. Balok batu Andesit menjadi Nisan kedua Makam tersebut. Tentang siapa yang dimakamkan dan bagaimana sejarahnya, kami belum mengetahuinya. Demikianlah catatan ringkas perjalanan hari ini.
Salam Nusantara...
Share:

25 September 2017

Sambung Rasa Antara 6 Komunitas Dengan BPCB Jawa Timur


Senin 18 September 2017 pukul 10.00 WIB, adalah waktu yang telah disediakan oleh Bapak Kepala Kasi PP kepada 6 Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya dari Kabupaten Sidoarjo untuk mengadakan pertemuan atau istilah lainnya adalah Sambung Rasa
antara 6 Komunitas tersebut dengan Istansi Pemerintah dalam ini adalah Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur tentang berbagai hal seputar temuan-temuan Situs Purbakala dan permasalahannya dalam pelestariannya, terutama yang berada dalam wilayah Kabupaten Sidoarjo.
            Sebelumnya 6 Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya telah hampir 3 bulan bersama-sama menyatukan persepsi, visi dan misi mereka dalam menyikapi berbagai hal tentang kurang terpeliharanya temuan-temuan situs yang ada di Kabupaten Sidoarjo baik itu kurang respeknya pemerintah daerah setempat maupun masyarakat umumnya. Setelah menjalani serangkai kegiatan penelusuran Jejak-jejak Peradaban dan serangkaian diskusi panjang akhirnya dicapai sebuah kesepakatan bersama untuk mengirim surat ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur untuk meminta waktu untuk sekedar beraudensi pada tanggal 28 Agustus 2017 yang lalu. Setelah sebelumnya juga bertemu dengan beberapa orang arkeolog dari Puslit Arkenas Jakarta yang sedang melakukan riset di situs Grogol, Beliau adalah Ibu Watty Yusman, Bapak Edy, Ibu Titi dan Ibu Tri Wahyuni.



            6 Komunitas yang terdiri dari Balasatya Wetan, Lakon Jagad, Garda Wilwatikta, Satriyo Puser Mojopahit,Paguyuban Sendang Agung dan Pimcab Sidoarjo Perhimpunan Pergerakan Indonesia akhirnya diterima oleh Bapak Kepala Kasi PP Drs. Edhi Widodo M. Si. Beserta staffnya yaitu Bapak Nugroho Harjo Lukito SS., Bapak Sudaryanto, Bapak Kuswanto SS. M.Hum. Dan Bapak Muhammad Ichwan SS. MA. di ruangan presentasi sekitar pukul 10.15 WIB.



            Kamipun masuk ruangan yang disediakan, dan acarapun dibuka oleh Bapak Kepala Kasi PP Drs. Edhi Widodo dengan menyampaikan ucapan selamat datang kepada semua perwakilan 6 Komunitas yang hadir sambil menanyakan maksud dan tujuan kedatangan 6 Komunitas dari Sidoarjo ini. Bapak Tri Kisnowo Hadi sebagai juru bicara 6 komunitas Sidoarjo ini segera memulai prolognya tentang latar belakang tujuan 6 Komunitas bertemu dengan Kepala Kasi PP dan staff yang intinya adanya sebuah keprihatinan yang mendalam dari elemen masyarakat pecinta sejarah Sidoarjo tentang pelestarian Situs-situs di Sidoarjo yang sepertinya tidak direspon secara baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat sehingga terjadi pembiaran terhadap situs-situs yang relatif baru ditemukan seperti Situs Alas Trik ,Situs Terung, Situs Pelawangan, Situs Urangagung dan juga hendak melaporkan Temuan situs di tepi Sungai Porong Desa Leminggir Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto.



            Selain Bapak Tri Kisnowo Hadi dari Pimcab Perhimpunan Pergerakan Indonesia, Bapak Khudori Al Wakid dari Satriyo Puser Mojopahit juga menambahkan tentang keprihatinan masyarakat Tarik khususnya, karena ada semacam pertanyaan dari masyarakat tentang bagaimana sebenarnya Sejarah Tarik tersebut. Sebab dalam sebuah literatur sejarah yaitu Pararaton menyebutkan kalau di daerah yang disebut ALASE WONG TRIK adalah tempat berdirinya Mojopahit terlebih dahulu. Sekitar tahun 1986-1995 pernah ada beberapa kali penelitian di kawasan Medowo dan Klinter yang merupakan wilayah dari Tarik yang hingga kini belum ada kajian resmi tentang penelitian tersebut. Bapak Drs. Edhi Widodo segera merespon dengan menyebutkan bahwa sesuai UU Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya kewenangan yang dipunyai BPCB, serta kewenangan-kewenangan yang sebenarnya kini berada pada istansi pemerintah yang ada pada pemerintah Kabupaten maupun kota secara jelas. Dan juga Pak Edhi Widodo menyebutkan berbagai macam kesulitan yang dialami BPCB terkait dengan minimnya anggaran tentang hal itu. Jadi dalam menjalani fungsinya menanggapi laporan masyarakat tentang adanya temuan situs pihaknya memakai skala prioritas, artinya tindakan terdapat temuan situs-situs tersebut terlebih dahulu akan disurvei oleh BPCB apakah situs tersebut masuk dalam prioritas utama atau dibawahnya.



            Selanjutnya Pak Edhi Widodo mempersilahkan adanya pelaporan situs di tepi Sungai Porong yang disampaikan oleh Bapak Agus Subandriyo dari Komunitas Garda Wilwatikta. Dalam kesempatan ini Bapak Agus Subandriyo menjelaskan secara ringkas adanya temuan situs yang berupa 6 sumur kuno yang terbuat dari bata kuno yang bentuknya bundar. Struktur pondasi yang masih tertanam di tebing utara sungai porong dengan panjang struktur lebih dari 15 meter. Diduga struktur bata itu masih terpendam utuh di bawah tanah yang kini ditanami jagung dan singkong. Kemudian reruntuhan bata yang berserakan di sepanjang tepi sungai lebih dari 15 meter, pecahan tembikar, gerabah, keramik, batu pipisan, serpihan tulang dan koin kuno yang diduga koin Cina.



            Selain itu Bapak Agus Subandriyo juga meminta adanya respon dari BPCB Jawa Timur atas temuan tersebut karena rawan sekali terjadi kerusakan pada situs tersebut termasuk meminta dokumen tentang hasil Riset Balai Arkeologi Jogjakarta antara tahun 1986–1995. Selanjutnya Bapak Agus Mulyono dari Komunitas Lakon Jagad juga menceritakan tentang proses penemuan Situs Terung dari awal hingga kini termasuk adanya upaya eskavasi dari BPCB tahun 2015 yang dipimpin Bapak Nugroho Harjo Lukito sekaligus menanyakan hasil dari eskavasi tersebut.



Menanggapi hal tersebut Bapak Edhi Widodo kembali memperjelas kemampuan dan kewenangan yang dimiliki BPCB yang tentunya selain anggarannya terbatas juga tidak bisa berbuat tanpa ada kejelasan dari tanah yang ada situsnya tersebut. Karena BPCB tidak diizinkan melakukan tindakan lebih, misalnya pemugaran sebuah situs sebelum status tanahnya itu resmi menjadi tanah milik negara.


Bapak Tri Kisnowo Hadi juga menanyakan tentang kenapa 6 Komunitas ini melaporkan langsung temuan situs kepada BPCB karena bila melaporkan temuan situs ke pihak Dispora yang ada di Pemerintah Kabupaten maka pihak Dispora berdalih kalau hal itu menjadi wewenang BPCB, jadi ada semacam pelemparan tanggungjawab antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan BPCB padahal dalam UU nomor 11 tahun 2010 telah jelas disebutkan tugas dan wewenangnya pada Bab VIII pasal 95 dan 96, dengan adanya kejadian semacam itu Bapak Edhi Widodo menganjurkan untuk mendorong pada instansi terkait di pemerintah Kabupaten/Kota untuk menjalankan fungsi dan wewenangnya sesuai UU nomor 11 tentang Cagar Budaya khususnya pasal 95 dan 96. Tentunya bisa melalui pendekatan politik melalui komisi-komisi DPRD yang mengurusinya.



Selanjutnya Bapak Nugroho Harjo Lukito yang menanggapi pertanyaan dari Bapak Agus Mulyono tentang hasil Eskavasi BPCB di Terung tahun 2015. Secara lugas Pak Nugroho ini menyebutkan tentu saja 3 hari eskavasi di situs Terung belum bisa menjawab tentang apa itu Terung apalagi periodesasi, karena memang waktunya tidak cukup untuk itu, lagi-lagi kendalanya dari anggaran yang terbatas. Tetapi Pak Nugroho memberikan jalan keluar untuk mempercepat langkah-langkah penanganannya melalui kerjasama dengan pemerintah daerah setempat. Tentunya ada mekanisme yang tersendiri terutama tentang anggaran kegiatan tersebut. Secara tersirat Pak Nugroho menyatakan kalau temuan situs Terung yang kedalamannya di atas 2 meter, dengan ada 3 lapisan tanah yang berbeda bisa saja situs tersebut lebih Tua dari Mojopahit, bisa zaman Kediri atau lebih lama lagi.



            Selanjutnya Bapak Sudaryanto menanggapi penyataan Bapak Khudori tentang pemanfaatan situs dengan kegiatan yang bermuatan budaya lokal seperti yang ada di daerah Puri, sebuah tempat situs yang hingga kini tetap dimanfaatkan dengan kegiatan-kegiatan budaya. Kemudian belum meratanya staff ahli yang seharusnya ada di setiap Kabupten dan kota juga menyulitkan kegiatan pelestarian, untuk itulah Bapak  Kusawanto meminta kepada 6 komunitas ini untuk mendorong pihak pemerintah Kabupaten kota untuk menunjukkan staff ahlinya agar lebih memudahkan penanganan pelestarian di daerah-daerah, karena di berapa daerah seperti Malang dan Kediri telah mempunyai Staff Ahli yang mengurusi keberadaan situs-situs di wilayahnya, sehingga kalau ada penemuan situs baru proses penanganannya akan lebih cepat. Juga tentang peran pentingnya komunitas-komunitas pecinta sejarah dan budaya tentu akan membantu proses penanganan situs-situs, baik itu yang sudah ada maupun yang baru ditemukan. Pak Sudaryanto menyebutkan kalau komunitas-komunitas yang ada di Lamongan bahkan telah melakukan sebuah eskavasi bersama pihak pemerintah Kabupaten Lamongan, mereka bahakan meminta anggaran pada pemerintah daerah setempat untuk bersama-sama melakukan Eskavasi pada sebuah situs, karena kurangnya tenaga ahli dari eskavasi ini mereka meminta bantuan kepada BPCB Jawa Timur untuk mengirimkan tenaga-tenaga arkeolog untuk memandu kegiatan tersebut. Dengan adanya peristiwa tersebut Pak Sudaryanto mengharapkan agar komunitas-komunitas lain khususnya dari Sidoarjo bisa berbuat seperti itu.



            Selanjutnya Bapak Muhammad Ichwan menambahkan pengalaman-pengalamannya bertugas di berbagai tempat di Jawa Timur sebagai Staff ahli yang tentunya bekerjasama dengan berbagai komunitas di daerah-daerah, seperti Madiun dan Ponorogo. Bapak Ichwan ini menjanjikan membantu mendapatkan copy dari jurnal yang dikeluarkan Balai Arkeologi Jogjakarta tentang Riset di Medowo seperti yang ditanyakan Bapak Agus Subandriyo pada kesempatannya tadi.
Waktupun makin siang, Bapak Kepala Kasi PP Edhi Widodo dalam penutupannya menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya atas kunjungan 5 Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya Sidoarjo ini. Dan mengharapkan apa yang dibahas dalam pertemuan tadi benar-benar bermanfaat bagi pelestarian di Jawa Timur khususnya di wilayah Sidoarjo yang kaya akan peninggalan bersejarah serta meminta maaf yang sebesar-besarnya atas penyambutan di kantor BPCB Jawa Timur. Sebelum menutup kalimatnya Bapak Edhi meminta pada perwakilan Komunitas yang hadir untuk menambahkan atau menyampaikan sesuatu.
            Bapak Khudori Al Wakid menyampaikan harapannya agar pihak BPCB Jawa Timur terus terbuka dan senang hati membimbing komunitas-komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya Sidoarjo ini agar pelestarian Situs-situs Sejarah yang sudah maupun yang akan ditemukan nanti akan mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat, juga agar peninggalan-peninggalan leluhur kita bisa dilestarikan dan bisa dimanfaatkan untuk kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Akhirnya acara Sambung Rasa 6 Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya Sidoarjo dengan BCPB Jawa Timur resmi ditutup pada pukul 12.30 WIB. Semoga kegiatan yang positif ini akan terus berlangsung dan meningkat tingkatnya dari waktu ke waktu. Amiiiin…





Selanjutnya kegiatan diisi dengan foto-foto bersama di depan ruangan Perpustakaan, disertai dialog-dialog hangat antara mereka yang intinya tidak jauh dari pelestarian situs dan bagaimana mekanismenya. Dialogpun makin akrab diselingi minum kopi di warung belakang kantor BPCB ini. Diakhir acara ternyata 5 komunitas yang hadir tersebut ditraktir oleh Bapak Nugroho Harjo Lukito karena kami dilarang membayar kopi pada warung tersebut, terimakasih Pak


Semoga kemesraan ini terus berjalan... Terimakasih…
Share:

13 Agustus 2017

Sabda Enam Sumur Kuno


   Informasi adanya sumur di tepian sungai Brantas kami dengar dari teman kami Sutikno warga Desa Modopuro Mojosari, sekitar akhir tahun 2015 yang silam. Kami dari Garda Wilwatikta yang saat itu melakukan pendataan sampai ke wilayah Modopuro tepatnya di makam Resi Mayangkhara. Dalam perjalanan pulang kami singgah sebentar di warung sebelah utara jembatan darurat itu untuk sekedar minum. Lalu melihat sejenak dari atas ke bawah sungai Brantas tersebut. Dari atas kebun jagung ketika itu kami melihat bata-bata kuno berserakan di dalam air di sisi utara sungai, karena kondisi curam dan air sedang tinggi kami memutuskan tidak turun ke bawah. (lihat catatan "Perjalanan menuju Modopuro").

   Beberapa hari yang lalu saya bersama bapak Hadi seorang pecinta sejarah & budaya dari Tarik, kembali menuju situs tersebut. Dengan dipandu oleh Beliau saya mengikuti dari belakang menembus kebun yang ada di selatan tangkis ke arah barat, mencari jalan yang agak landai untuk turun kebawah, akhirnya pak Hadi turun ke bawah di sisi utara sungai yang airnya sedang surut.



   Ketika pertama turun, pak Hadi yang sejak siang telah menyusuri tempat ini menunjukkan pada saya sebuah sumur yang bentuknya bulat dengan bata-bata yang melengkung.



   Selanjutnya Sabtu sore (Sanaiscara 6 Agustus 2017) beberapa komunitas pecinta Sejarah berkumpul di lokasi untuk bersama-sama mendata temuan di tebing sungai Brantas tersebut, setelah sebelumnya berkumpul di kediaman pak Hadi. Mereka adalah Satrio Puser Mojopahit, Lakon Jagad, Garda Wilwatikta, Balasatya Wetan dan aktivis pergerakan yang dipimpin mas Tri Kisnowo Hadi dari Watesrowo.



   Dari tebing-tebing sungai tersebut tersisa struktur yang diduga sebuah bangunan. Pak Hadi terus menuju ke bawah jembatan menunjuk beberapa titik yang diduga ada jejak peradaban, bahkan menurutnya ada 3 sumur lagi di lokasi ini, hanya saja posisinya lebih kebawah sehingga terendam air. Karena waktu saya yang terbatas akhirnya saya meninggalkan lokasi tetapi sebelum saya pergi mas Sultoni dari Satrio Puser Mojopahit datang untuk meneruskan penelusuran sore itu bersama pak Hadi.



   Setelah melakukan olah lokasi bersama-sama akhirnya kami semua membuat sebuah Maklumat bersama yang isinya seruan untuk melakukan penyelamatan situs di tebing sungai brantas khususnya, dan situs-situs bersejarah lainnya. Mas Tri Kisnowo Hadi dari PPI (Perhimpunan Pergerakan Indonesia) mengusulkan harus ada beberapa orang yang tampil menyampaikan aspirasinya dalam maklumat budaya tersebut. Akhirnya disepakati bahwa Mas Dalang dari Satrio Puser Mojopahit yang menjadi pembukanya, disusul saya sebagai perwakilan dari Balasatya Wetan dan Garda Wilwatikta, lalu Mas Nizar dari Lakon Jagad, serta mas Tri Kisnowo Hadi.


   Masing-masing menyampaikan sesuai dengan kapasitasnya. Mas Dalang menyampaikan ajakan untuk turut serta uri-uri sejarah budaya nenek moyang agar tetap lestari, saya menyampaikan sedikit kronologi sejarah, dilengkapi mas Nizar menjelaskan temuan-temuan artefak yang ada, dan mas Kisnowo Hadi menyampaikan agar pihak-pihak yang punya wewenang dalam pelestarian baik pemerintah maupun independen untuk segera turun tangan menyelamatkan situs tersebut.


   Maklumat budaya tersebut disiarkan secara live melalui media sosial oleh mas Bagus dari PPI untuk disampaikan kepada publik, khususnya media sosial agar diketahui masyarakat bahwa ada sebuah kumpulan beberapa komunitas dalam ikut serta menyelamatkan dan melestarikan peninggalan sejarah dan budaya Nusantara, dengan harapan supaya masyarakat maupun pihak yang berwenang segera melakukan upaya-upaya penyelamatan. Karena jika tidak, dikhawatirkan situs-situs tersebut akan lenyap. Demikianlah, setelah cukup membuat dokumentasi di tebing sungai Brantas tersebut akhirnya kami memutuskan untuk melaporkan temuan itu kepada Kepala Desa setempat.


   Perwakilan dari beberapa komunitas tersebut menyampaikan temuan dan maksud kami pada Kades setempat yang direspon cukup baik oleh Kades. Bahkan Kades pun heran dan bangga akan kedatangan kami. Setelah cukup melaporkan temuan hari itu, kamipun meninggalkan rumah Kades untuk kembali ke rumah masing masing.



   Besar harapan kami agar usaha dan upaya kami ini mendapat respon positif dari masyarakat, pemerintah dan pihak terkait dalam pelestarian sejarah. Akhirnya saya selaku penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya pada seluruh teman dari berbagai komunitas yang mendukung upaya pelestarian Sejarah Budaya Nusantara.

   Mohon maaf bila ada kata dan tindak-tanduk saya, terutama tidak bisa menyebutkan nama satu persatu teman-teman yang hadir, dan atas nama seluruh komunitas yang hadir kami menyampaikan terimakasih. Tak ada beban yang berat bila dipikul bersama-sama...

Rahayu Rahayu Rahayu Sagung Dumadi... Salam Nusantara...


Share:
Komunitas Pecinta Sejarah dan Budaya - GARDA WILWATIKTA Tado Singkalan - "Menapak Jejak, Mematri Semangat, Mengunggah dan Melestarikan Peradaban Nusantara"

Garda Wilwatikta